TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Colenak Menolak Punah! Makanan Khas Bandung yang Tetap Bertahan

Colenak masih tetap ada dari 1930

(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Bandung, IDN Times - Kota Bandung memiliki banyak kenangan peninggalan perjuangan kemerdekaan. Tidak hanya gedung-gedung tua yang kini masih berdiri, makanan khas sejak zaman kemerdekaan juga masih bertahan.

Salah satu yang kini masih belum hilang digerus zaman yaitu colenak yang diproduksi oleh Aki Murdi. Kudapan berbahan dasar peyeum dan gula merah ini tetap dipertahankan, dan kini diteruskan hingga generasi ketiga.

Colenak Aki Murdi ini sudah berdiri sejak zaman 1930. Bermula dari toko di Jalan Ahmad Yani, kini sudah memiliki dua tempat di Kota Bandung. Generasi ketiga Aki Murdi, Bety Nuraety (51 tahun) menjelaskan, resep yang diberikan dari kakeknya Itu kini masih diterapkan.

Colenak sendiri mulanya bernama dicocol enak, yang ketika itu banyak pengunjungnya berasal dari Belanda. Dan dari sana para pengunjung memberi nama colenak.

"Kakek itu dulunya ngasih nama dicocol enak, jadi bahasa colenak itu dari tamu yang beli. Kalau dulu peyeum digulain saja. Pembeli orang Belanda bilang, maka itu colenak itu dari tamu Belanda," ujar Bety, saat ditemui, Kamis (28/9/2023).

1. Colenak punya sejarah yang panjang

(Istimewa)

Semenjak itu nama colenak mulai terkenal dan mayoritas pembeli dari warga Belanda. Dengan tenarnya nama colenak dalam momentum Konferensi Asia Afrika (KAA) di Kota Bandung, ada permintaan agar turut disajikan untuk hidangan para tamu undangan.

"KAA pertama colenak dipakai sebagai jamuan penutup dan tempatnya di Hotel Savoy Homann, itu tahun 1955. Dan saat itu kakek jualannya di roda, bikinnya juga belum banyak," ucap Bety.

Menu yang dihadirkan juga dulu hanya rasa original saja, di mana saat itu masih ada campuran pandan dengan gula merah dan peyeum. Kemudian, seiring berjalannya waktu kini sudah ada tiga rasa: original, nangka, dan durian.

Bety menambahkan, Colenak Murdi Putra 3 terus bertahan karena semasa kakeknya hidup ia diminta terlibat langsung untuk melihat proses pembuatan dari hulu hingga hilir. Sistem pembuatan juga masih memakai kayu bakar hingga saat ini.

"Kakek meninggal di usia 66 tahun, terus ibu saya melanjutkan sampai 1970 masih jualan, dan anaknya dilibatkan. Karena ibu sudah tua, akhirnya resep diturunkan sehingga 2010 saya kelola semua," katanya.

2. Bangga bisa melestarikan makanan khas

(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Melanjutkan usaha yang telah dibangun dari sejak zaman dulu, menurutnya tidaklah mudah. Dia mengaku sempat membuat berbagai inovasi, namun akhirnya tetap kembali lagi pada cita rasa awal. Ditambah, dia juga mendapat mandat dari ibunya agar makanan ini tetap bertahan hingga keterunan selanjutnya.

"Saya merasa bangga karena masih tetap mengikuti aturan orang tua. Jadi ibu gak mau colenak sama bakso itu bakso chinese, akhirnya kami mempertahankan ini," katanya.

Selain menu olahan yang masih dipertahankan, peyeum yang diambil juga masih dari sumber yang sama yakni terletak Cimenyan, Bandung. Sehingga citarasa tidak berbeda dengan awal dulu yang dibuat oleh kakeknya.

"Makanan ini itu tidak boleh hilang, ini turun temurun, bahkan ditekankan ke buyut jadi kemungkinan akan diteruskan ke anak saya. Ini resep dari kakek dari ibu resep gak diubah. Dulu 25 perak sekarang 12 ribu per bungkus," katanya.

Baca Juga: Festival Kuliner Serpong Sajikan Kuliner Khas Jogja-Madura

Baca Juga: Festival Kuliner Legendaris di Solo , Hadirkan Jejak Kuliner Jokowi

Berita Terkini Lainnya