Melihat Pengrajin Opak Majalengka, di Tengah Gempuran Makanan Modern

Jumlah nutu memengaruhi rasa opak

Majalengka, IDN Times- Di tengah menjamurnya usaha kuliner modern saat ini, Andri warga Desa Jatipamor, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengka memilih tetap menggeluti usaha makanan tradisional. 

Sudah sekitar 24 tahun, dengan segala dinamikanya, Andri bergelut dengan usaha Opak Ketan, makanan tradisional masyarakat Majalengka. 

"Mulai 1999 an bikin opak. Ini bukan meneruskan usaha orang tua," kata Andri, saat berbincang dengan IDN Times.

1. Proses dilakukan secara tradisional

Melihat Pengrajin Opak Majalengka, di Tengah Gempuran Makanan ModernInin Nastain/ proses mencetak opak

Selama kurun waktu sekitar 24 tahun, Andri mengaku menjalankan usahanya itu dengan cara tradisional. Cara tersebut dilakukan sejak dari proses awal hingga akhir.

Pada tahapan awal, jelas Andri, proses menutu (melembutkan beras ketan yang sudah dikukus) menggunakan alat tradisional, seperti yang dilakukan oleh pembuat Opak zaman dulu.

"Begitu juga saat mencetaknya, sampe menjemur dan memanggang. Kami lakukan semuanya secara manual," kata Andri.

Ada beberapa pertimbangan mengapa Andri masih memroduksi Opak secara manual. Modal, jadi salah pertimbangan mengapa dirinya masih melakukan pembuatan Opak dengan cara tersebut.

"Kemudian ya, pertimbangan sosial juga. Kalau menggunakan mesin, nanti akan menghilangkan pekerjaan tetangga. Ya meskipun tidak seberapa, tapi mereka masih bisa bekerja," jelas dia.

"Kami ada tiga orang yang membantu membuat Opak ini," lanjut Andri

2. Ada rumus jumlah nutu, agar rasa Opak sempurna

Melihat Pengrajin Opak Majalengka, di Tengah Gempuran Makanan ModernInin Nastain/ proses me-nutu

Dalam menggeluti usaha Opak, ada fakta unik yang dialami Andri pada prosesnya. Keunikan tersebut terjadi saat proses menutu beras.

Dijelaskannya, ada batasan jumlah yang harus 'dipedomani' saat proses menutu itu. Jika tidak, rasa dari Opak itu tidak akan sempurna.

"Saya kalau satu kali bikin itu sebanyak 12 kilogram. Nah satu kali masak beras ketan itu, 4 liter. Jadi dari 12 kilogram itu, empat kali masak beras. Nah, dari setiap 4 liter beras yang ditutu itu, nutu nya harus 500 kali," jelas dia.

"Kalau kurang dari 500, nanti rasanya akan beda. Ini keunikannya, dan sudah kami alami. Jadi dari 12 kilo beras itu, semuanya 2000 kali nutu," lanjut dia.

3. Musim hujan jadi musuh pengrajin Opak

Melihat Pengrajin Opak Majalengka, di Tengah Gempuran Makanan ModernInin Nastain/ proses penjemuran opak

Selama menjalankan bisnis tersebut, Andri mengaku tidak terlalu mengalami kendala berarti. Terkait bahan baku berupa beras ketan, dia mengaku selama ini tidak pernah mengalami kesulitan.

"Lancar-lancar aja sih. Beras ketan juga mudah. Ya meskipun sekarang mahal, tapi masih bisa lah," ungkap dia.

Satu-satunya kendala, jelas dia, adalah musim hujan. Hal itu lantaran dia tidak bisa menjemur Opak basah secara maksimal.

"Kalau pake oven, hasilnya tidak sebagus hasil jemur di matahari. Ada teman yang mencoba untuk pakai oven, ternyata ya hasilnya kurang maksimal," jelas dia.

"Yang bagus mah ya tetap, dijemur di matahari itu. Durasi menjemur paling 2 jam," lanjut dia.

Ketika musim hujan sudah masuk puncak, Andri mengaku memilih berhenti produksi. "Padahal mah musim hujan kan banyak orang yang suka ngemil ya, hahah," kata Andri berkelakar.

Disinggung terkait pasar, Andri menyebutkan hingga saat ini masih berkutat di dalam kota saja. Dia mengaku belum berani menyentuh luar kabupaten, mengingat SDM dan modal yang terbilang masih terbatas.

"Kadang mah kalau ada permintaan tambahan, dan saya lagi nggak ada persediaan, ya saya ambil ke rekan-rekan," ungkap dia.

Baca Juga: Colenak Menolak Punah! Makanan Khas Bandung yang Tetap Bertahan

Baca Juga: 40 Makanan Tradisional Indonesia, Bikin Ngiler!

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya