TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Masalah dan Solusi Pangan yang Menarik Dibahas saat Debat Pilpres

Seberapa greget kedua capres menjawab permasalahan pangan?

Ilustrasi padi (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)

Jakarta, IDN Times – Pelaksanaan debat kedua calon presiden yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengangkat tema pangan, energi,  sumber daya alam, lingkungan, serta infrastruktur. Lima tema ini akan menjadi pembahasan dalam pelaksanaan debat yang akan diikuti calon presiden Joko "Jokowi" Widodo dan Prabowo Subianto di Hotel Sultan, Jakarta, pada pukul 20.00WIB, Minggu(17/2).

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam konferensi persnya menyampaikan agenda-agenda strategis agar masyarakat tahu isu penting apa saja untuk pembangunan SDA dan infrastruktur sehingga menjadi perhatian tidak hanya bagi capres dan cawapres, tetapi juga bagi pemerintah yang akan datang.

Berikut ini adalah lima masalah dan solusi yang ditawarkan Indef untuk dibahas pada debat kedua:

1. Masih banyak data pangan yang belum selesai

ANTARA FOTO/Weli Ayu Rejeki

Rusli Abdulah selaku Peneliti INDEF, Center of Food, Energy, and Sustainable Development mengapresiasi pemerintah yang telah merilis data pangan, khususnya beras pada Oktober 2018 lalu yang terkoreksi sekitar 29,6 persen menjadi 13,63 juta ton.

“Namun demikian, komoditas pangan lainnya seperti jagung, kedelai, dan produk hortikultura belum dilakukan koreksi. Ini sangat penting dalam merancang kebijakan pangan yang efektif dan tepat sasaran baik yang berkaitan dengan produksi, distribusi, hingga kebijakan perdagangan,” kata Rusli di Pejaten, Jakarta, Kamis (14/2).

Apa solusi dan sarannya?

Indef menyarankan pemerintah menata data pangan komoditas pangan, baik beras maupun non-beras. Diperlukan neraca per komoditas utama seperti jagung, kedelai, telur, daging ayam dan sapi serta produk hortikultura penyumbang inflasi.

“Neraca tidak hanya per komoditas, tapi juga mencakup per wilayah,” ujar Rusli.

Baca Juga: Segmen Debat Terbuka, Jokowi-Prabowo Bakal Diberi Kebebasan Waktu

2. Manajemen produksi dan logistik komoditas pangan perlu diperbaiki

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Berdasarkan data BPS, produksi beras pada semester 1 2018, surplus 5 juta ton. Dengan rincian produksi 19,6 juta ton dan konsumsi 14,7 juta ton. Pada semester 2, produksi beras defisit 2,1 juta ton, dengan rincian produksi 12,8 juta ton dan konsumsi 14,9 juta ton.

“Hal ini menunjukkan bahwa terdapat masalah manajemen produksi dan logistik komoditas, baik antar waktu maupun antar daerah,” sebut Rusli.

Saran Indef untuk permasalahan ini adalah dengan melakukan rekonstruksi manajemen produksi dan logistik pangan.

Kenapa penting? Supaya membuat satu koordinasi dan sistem antara Kementerian Pertanian sebagai penanggung jawab sisi produksi, Bulog sebagai penanggung jawab pencadangan beras nasional, dan Kementerian Perdagangan sebagai penanggung jawab perdagangan pangan.

3. Impor beras terus meningkat, paling tinggi kedua pada 2018 sejak tahun 2000

IDN Times/Didit Hariyadi

Rusli mengatakan, hingga saat ini impor beras sulit dihindari sebelum ada perbaikan tata kelola komoditas pangan. Tren impor ini meningkat sejak tahun 2000, dan tahun lalu, impor beras merupakan tertinggi kedua sejak tahun 2000 dengan total impor 2,25 juta ton atau senilai US$1,003 juta.

“Impor tertinggi terjadi pada 2011 dengan total impor 2,75 juta ton US$1,5 juta. Impor dapat dikurangi jika tata kelola di produsen (petani) diperbaiki termasuk mengurangi rantai tata niaga pangan,” ucap Rusli.

Solusi yang bisa diterapkan dari permasalahan ini adalah dengan menggenjot produksi untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor komoditas pangan. Bagaimana cara menggenjot produksi?

Menurut Rusli, bisa dengan sejumlah kebijakan seperti mempertahankan lahan abadi pertanian di Pulau Jawa serta ekstensifikasi di luar Pulau Jawa, memperbaiki teknologi budidaya pangan, dan sebagainya.

“Apabila impor diperlukan dalam menjaga harga, maka harus memperhatikan siklus panen. Impor harus dilakukan pada saat defisit neraca beras dan menyasar wilayah defisit beras,” kata dia.

4. Petani sejahtera kalau harga beras naik, masak sih?

ANTARA FOTO/Yusran Uccang

Rusli menjelaskan bahwa kesejahteraan petani bukanlah sekedar persoalan harga beras. Hal ini terlihat dari kenaikan harga beras yang semakin tidak berhubungan secara positif dengan kesejahteraan petani padi.

“Hubungan NTP (nilai tukar petani) Tanaman Pangan dengan harga beras premium, medium dan rendah, semakin rendah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, rata-rata hubungan NTP beras adalah sebesar 0,94. Rata-rata tersebut menurun pada 2016 menjadi hanya sebesar 0,92, 0,84 pada tahun 2017, dan menjadi hanya 0,47 di 2018. Artinya kenaikan harga beras yang terjadi saat ini semakin tidak dinikmati oleh petani,” jelasnya.

Maka, menurut dia, untuk perbaikannya bisa dilakukan dengan cara mengurangi rantai tata niaga komoditas pangan, termasuk untuk menekan biaya distribusi beras. Pemerintah harus berperan dalam mengurangi biaya distribusi pada daerah-daerah yang biaya logistiknya tinggi.

“Di samping pemerintah berperan dalam menetapkan harga akhir di tingkat konsumen,” ucap Rusli.

Baca Juga: Lokasi Debat Capres Kedua Bakal Dijaga 200 Paspampres Nanti Malam

Berita Terkini Lainnya