TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pujian di Tengah Kontroversi Pilkada Langsung Gagasan Menteri Tito

Evaluasi Tito bukan berarti Pilkada kembali dipilih dewan

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (Dok. Kemendagri)

Bandung, IDN Times - Evaluasi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menilai bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung sebagai sumber masalah memang menuai kontroversi. Tapi, bagi The Jakarta Institute (TJI), Tito justru dianggap berani melemparkan wacana tentang Pilkada langsung yang telah menjadi sistem politik Indonesia dalam beberapa tahun ke belakang.

Direktur TJI Reza Fahlevi mengapresiasi keberanian itu. Ia sepakat dengan Tito, bahwa Pilkada langsung menjadi sumber penyebab tingginya angka kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. "Bagaimana tidak, karena ongkos politik untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah sangat mahal," kata Reza, dalam rilis yang diterima IDN Times Jabar pada Jumat (22/11) malam.

1. Dapat mengubur pencalonan sosok berkualitas

Ilustrasi pemungutan suara (Unsplash.com/Element5Digital)

Levi, sapaan akrab Reza, berpendapat jika ongkos politik yang mahal dalam sistem Pilkada langsung telah menyeleksi putra daerah yang berkualitas namun tak memiliki cukup modal. Walhasil, hanya sosok dengan modal besar saja yang dapat menjadi calon kepala daerah meski kualitasnya belum teruji dengan baik.

"Sistem politik yang ada membuat putra daerah dengan gagasan hebat namun tidak kuat modal untuk logistik kampanye harus bisa menerima kenyataan mengubur impiannya berkontribusi membangun daerah dengan menjadi Wali Kota, Bupati atau Gubernur," katanya.

2. Rawan money politic

IDN Times/Arief Rahmat

Sistem Pilkada langsung juga telah mewajibkan seorang calon kepala daerah untuk berkampanye dari pintu ke pintu. Hal itu, bagi Levi, membuka peluang politik uang yang kerap dilakukan calon kepala daerah yang bermodal besar. Fenomena itu tentu membentuk perspektif negatif di kalangan masyarakat.

"Selain itu, pemilih akan menjadi individualis dan materialistis. Calon kepala daerah hanya mengandalkan ketokohan dan menafikan kemampuan memimpin organisasi yang kelak dibutuhkan saat terpilih menjadi kepala daerah," tutur dia.

3. Menimbulkan konflik di kalangan masyarakat

IDN Times/Arief Rahmat

Tak berhenti sampai di sana. Merujuk pada berbagai peristiwa yang terjadi selama Indonesia menggelar Pilkada langsung, sistem politik ini juga dianggap berpotensi menimbulkan konflik antarmasyarakat yang berbeda pilihan politik.

Belum lagi keluhan-keluhan lainnya, seperti misalnya ongkos penyelenggaraan yang mahal dan memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). "Baik itu anggaran bantuan sosial maupun pos anggaran lain yang dicantumkan petahana demi kepentingan pribadi karena kembali maju dalam Pilkada langsung," ujar Levi.

Berita Terkini Lainnya