Peran Soekarno dan Kiai NU di Balik Istilah Halal bi Halal
Halal bi Halal, Cara Soekarno Redam Gesekan Politik
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Bandung, IDN Times – Hari raya Idul Fitri erat kaitannya dengan memperkokoh hubungan silaturahmi antar sesama manusia. Begitu kurang lebih yang berada di pikiran presiden pertama Indonesia, Soekarno, ketika menyambut Lebaran 1948, tiga tahun setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan. Bedanya, lebaran kala itu diwarnai perpecahan kalangan elite Indonesia karena gesekan politik.
Seperti dilansir dari lama resmi Nahdaltul Ulama (NU), pada 1948 dikisahkan bahwa Indonesia mengalami ancaman disintegrasi yang disebabkan oleh ulah sejumlah kelompok pemberontak. Sama dengan pandangan nasionalis Soekarno, ulama-ulama NU pun menilai bahwa gerakan pemberontakan, alias bughat, merupakan hal yang kudu diperangi.
Maka, Soekarno menginisiasi acara Halal bi Halal, sesuai dengan ide tokoh NU, Kyai Haji Abdul Wahab Chasbullah. Bagaimana peristiwa Halal bi Halal itu terjadi?
1. Ketika Bung Karno memanggil Wahab Chasbullah
Seperti dikisahkan tokoh NU, KH Masdar Farid Mas’udi, di pertengahan Ramadan tahun 1948, Soekarno meminta Wahab Chasbullah menghadapnya di Istana Negara. Undangan tersebut tak lepas dari keinginan Bung Karno, sapaan akrab Soekarno, mendengar saran kiai untuk mengatasi situasi politik Indonesia.
Singkat cerita, Wahab Chasbullah menemui Bung Karno di Istana Negara. Di mata Wahab, permintaan Bung Karno guna meredam gesekan politik bukanlah tugas sulit. Anggapan itu muncul karena adanya momentum bulan suci Ramadhan dan hari raya idulfitri.