Batu Bara Masih Jadi Pilar Penting Ketahanan Energi Indonesia

Bandung, IDN Times - Di tengah arus global menuju energi hijau, Indonesia masih menaruh batu bara di jantung strategi ketahanan energinya. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Aryo Djojohadikusumo, menegaskan bahwa peran batu bara terlalu besar untuk diabaikan.
“Ketahanan pangan, ketahanan energi, dan ketahanan air adalah prioritas utama pemerintahan Presiden Prabowo. Batu bara akan selalu menjadi bagian penting dalam ketahanan energi Indonesia,” ujar Aryo dalam Energy Insights Forum bertajuk Redefining Coal’s Contribution: Sustaining Revenues, Navigating Challenges, yang digelar Rabu (17/9/2025).
Menurutnya, di balik isu lingkungan dan transisi energi, batu bara masih menjadi fondasi perekonomian. Industri ini tidak hanya menyumbang pada sektor energi, tetapi juga menopang pembangunan sosial di berbagai daerah.
1. Kontribusi vital batu bara bagi ekonomi nasional

Industri batu bara masih menjadi mesin penting penerimaan negara. Data Kementerian ESDM mencatat hingga semester I 2025, PNBP dari mineral dan batu bara mencapai Rp74,2 triliun, atau 59,5 persen dari target tahunan.
Angka itu bahkan melampaui penerimaan sektor migas dalam tiga tahun terakhir.
Aryo menekankan bahwa kontribusi batu bara tak bisa dilihat sebatas penyedia energi. Industri ini ikut membangun infrastruktur sosial, dari sekolah, rumah sakit, hingga sarana umum lain di daerah penghasil tambang.
“Kontribusinya besar, jangan sampai dilupakan,” tuturnya.
Batu bara juga masih jadi penopang utama bauran energi Indonesia. Selama sumber energi alternatif belum sepenuhnya siap, menurut Aryo, menghapus batu bara dari sistem energi nasional justru akan melemahkan ketahanan ekonomi.
2. Tantangan produksi, ekspor, hingga tambang ilegal

Meski kontribusinya besar, industri batu bara menghadapi sejumlah tekanan. Per Agustus 2025, produksi nasional baru mencapai 485,71 juta ton atau 65,72 persen dari target. Angka ini turun 12,14 persen dibanding periode sama tahun lalu.
Ekspor pun ikut tertekan sekitar 11 persen akibat oversupply di China dan melemahnya harga global. Kondisi itu semakin berat ketika ditambah dengan biaya produksi yang meningkat dan regulasi domestik yang kerap berubah mendadak.
Masalah tambang ilegal juga mendapat sorotan. Aryo menilai praktik ini bukan hanya merugikan penerimaan negara, tetapi juga menciptakan persaingan tidak sehat bagi pelaku usaha resmi.
“Kalau yang legal tidak diberi ruang, justru tambang ilegal yang akan masuk,” katanya.
3. Hilirisasi dan inovasi sebagai jalan keluar

Untuk menjawab tekanan global dan domestik, Aryo mendorong hilirisasi batu bara sebagai solusi jangka panjang. Salah satu bentuknya adalah coal gasification, yang dapat menghasilkan bahan baku industri sekaligus mendukung ketahanan pangan melalui substitusi impor.
Ia menegaskan bahwa dunia usaha harus adaptif. Alih-alih hanya mengeluhkan kebijakan atau pasar global, pelaku industri perlu berani berinovasi. “Kalau satu jalan buntu, mari kita cari alternatif lain. Yang penting tetap memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan ketahanan nasional,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI-ICMA), Priyadi, sependapat dengan Aryo. Menurutnya, pasar memang tidak bisa dikendalikan, sehingga perusahaan harus fokus pada efisiensi operasional. Ia menekankan perlunya kepastian regulasi agar industri tetap bisa berjalan sehat.
Priyadi menjelaskan bahwa cadangan batu bara Indonesia masih sangat besar, mencapai puluhan miliar ton. Potensi ini bisa mendukung transisi energi, asalkan ada teknologi yang tepat, waktu yang memadai, dan stabilitas regulasi.