(IDN Times/Azzis Zulkhairil)
Para Guru Besar dan Akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Dengan rasa tanggung jawab intelektual, moral, dan profesional yang tinggi terhadap masa depan pendidikan kedokteran dan kualitas pelayanan kesehatan bangsa, menyampaikan keprihatinan mendalam atas arah kebijakan Kementerian Kesehatan saat ini.
Kebijakan-kebijakan yang telah diwacanakan dan/atau ditempuh tidak hanya mencederai tata kelola sistem pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan nasional, namun juga berpotensi meruntuhkan pilar-pilar etik, profesionalisme, dan otonomi keilmuan yang selama ini menjadi dasar keberlangsungan sistem kesehatan yang bermartabat dan berkeadilan.
Dari perspektif filsafat pelayanan publik dan pendidikan tinggi, negara memiliki tanggung jawab utama untuk menghormati martabat manusia dan menjamin bahwa pendidikan tenaga medis dijalankan dengan landasan etik, altruisme, profesionalisme, pengabdian, dan ilmu pengetahuan yang sahih.
Pendidikan kedokteran bukan hanya proses teknis mencetak tenaga kerja, tetapi adalah tindakan merawat kehidupan, di mana setiap lulusan bukan hanya membawa kompetensi, tetapi juga nurani, tanggung jawab, dan kepercayaan publik.
Dari perspektif sosiologi profesi, institusi kedokteran berdiri di atas kontrak sosial antara masyarakat dan negara, yang memberi wewenang kepada profesi untuk melayani dengan etika, bukan sekadar memenuhi target administratif. Ketika negara secara sepihak melemahkan kolegium, mengintervensi universitas, dan memindahkan proses pendidikan dari ruang akademik ke birokrasi, maka yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap etika sosial profesi.
Kami menyaksikan apa yang disebut Max Weber sebagai “Entzauberung” hilangnya kesakralan ilmu dan pengabdian akibat rasionalitas instrumentalis. Lebih jauh, ketika negara mengubah rumah sakit pendidikan menjadi pusat produksi dan deregulasi kompetensi, tanpa ruang akademik, maka profesi medis tidak lagi menjadi pilar peradaban, melainkan alat sistem kekuasaan dan pasar.
Ini bukan hanya krisis kebijakan, melainkan krisis nilai. Oleh karenanya, kami menilai bahwa:
1. Kementerian Kesehatan RI telah bertindak melebihi kewenangan yang semestinya melekat pada jabatan sebagai pejabat negara yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Pasca penerbitan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023, Menkes secara ekspansif mengambil alih fungsi desain dan pengelolaan pendidikan tenaga medis, termasuk:
- Pembentukan kolegium versi pemerintah tanpa partisipasi organisasi profesi dan universitas,
- Penyederhanaan jalur kompetensi profesi medis melalui pelatihan teknis singkat,
- Penerapan kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit (RSPPU) secara unilateral, tanpa kerangka pendidikan tinggi.
2. Kebijakan pelaksanaan RSPPU yang cenderung sepihak dan mengabaikan ketentuan perundang-undangan menghapus peran universitas sebagai institusi akademik yang sah, melanggar prinsip otonomi ilmiah dan tridarma perguruan tinggi, serta berpotensi merusak mutu pendidikan spesialis dan sistem jaminan mutu pendidikan nasional.
Tindakan tersebut telah mengabaikan fungsi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai otoritas penyelenggara pendidikan tinggi.
3.Pendidikan profesi medis bukan domain administratif kementerian teknis, melainkan bagian dari sistem akademik nasional. Saat rumah sakit vertikal menjadi pusat pendidikan tanpa integrasi akademik, fungsi keilmuan, evaluasi akademik, dan pertanggungjawaban publik terhadap mutu lulusan menjadi lenyap.
Tata kelola rumah sakit vertikal sebagai institusi pelayanan dan pendidikan klinik berada dalam kondisi rapuh dan tidak tersentuh reformasi. Kasus-kasus pelanggaran etik dan hukum tidak ditindak sebagai masalah sistemik, tetapi dijadikan dalih untuk mendiskreditkan institusi akademik dan organisasi profesi. Ini adalah bentuk pemindahan tanggung jawab (displacement of accountability) yang tidak etis dan membahayakan sistem.
4. Komunikasi publik Menteri Kesehatan tidak mencerminkan etika pejabat negara. Berbagai pernyataan spekulatif, tendensius, dan menyerang profesi secara menyeluruh memperburuk kepercayaan publik terhadap dokter dan lembaga pendidikan tinggi. Dalam konteks demokrasi modern, komunikasi seorang menteri tidak sepatutnya menjadi alat framing kekuasaan, melainkan cerminan akal sehat negara.
Dengan ini kami menyerukan kepada Presiden Republik Indonesia; untuk segera mengevaluasi dan mempertimbangkan figur kepemimpinan pada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,karena kuat diduga telah terbukti melewati batas kewenangan sektoral dan mengambil alih fungsi pendidikan tinggi.
Menjalankan kebijakan RSPPU yang bertentangan dengan sistem akademik nasional, merusak integritas keilmuan dan otonomi profesi medis, mengabaikan prinsip etik, transparansi, dan kolaborasi dalam perumusan kebijakan publik.
Kepada DPR RI; untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) Reformasi Kesehatan Nasional, guna menyelidiki dampak kebijakan Kemenkes terhadap sistem pendidikan dokter, tata kelola RS vertikal, serta hubungan lintas kementerian dan antar institusi negara.
Kepada Seluruh Elemen Bangsa; untuk menolak segala bentuk penyelenggaraan pendidikan kedokteran di luar sistem akademik yang sah, karena pendidikan dokter adalah pengabdian berbasis nilai, bukan produksi tenaga kerja instan untuk membangun kembali kolaborasi etis antara negara, universitas, rumah sakit, dan profesi, demi keselamatan pasien dan keadilan kesehatan di masa depan.