TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mungkinkah Sungai Citarum Layak Diminum dalam Lima Tahun ke Depan

Dengan teknologi, LIPI ikut membersihkan Sungai Citarum

IDN Times/Galih Persiana

Bandung, IDN Times – Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo pada Februari 2019, melontarkan janji yang tak tanggung-tanggung, mengubah kualitas air Sungai Citarum menjadi layak minum dalam tujuh tahun ke depan. Rencana itu disambut dengan tangan terbuka oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Lebih optimistis dari presiden, Emil, sapaan akrab Ridwan, mengklaim dapat merealisasikan komitmen Jokowi dalam lima tahun ke depan.

Bukan tidak mungkin harapan itu bisa tercapai, kata Neni Sintawardani, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bekerja untuk unit Loka Penelitian Teknologi Bersih di Komples LIPI, Jalan Cisitu Lama, Kota Bandung, Senin (25/3). Namun, menurut Neni, keinginan tersebut boleh dibilang nekat, “Tentu dalam konotasi positif,” tuturnya.

1. Citarum termasuk sepuluh besar sungai paling tercemar di dunia

suara.com

Sungai Citarum dari hulu ke hilir, yang membelah Bandung raya hingga Kabupaten Karawang, semakin tahun semakin tercemar. Saat ini, tercatat ada sekitar 27 rumah tangga yang menetap di pinggiran sungai Citarum dan membuang limbah rumah tangga mereka ke sana.

“Maka itu Citarum menjadi menarik untuk diteliti dan diselamatkan, karena sudah menjadi keluhan nasional. Bahkan, Situ Cisanti (Hulu Sungai Citarum) titik nol km, sudah terkontaminasi begitu masif,” kata Neni, kepada awak pers di Bandung, Senin (25/3). Bahkan, merujuk pada hasil penelitian Blacksmith Institute dan Green Cross Switzerland pada 2013, Citarum merupakan satu dari sepuluh sungai di dunia dengan tingkat polisi yang parah.

“Ada dua di Indonesia. Satu di Sungai Citarum, satu lagi sungai di Kalimantan dengan limbah pertambangan,” ujarnya.

2. Dari mana saja limbah Sungai Citarum?

IDN Times/Galih Persiana

Pencemaran terbesar Sungai Citarum berasal dari limbah rumah tangga. Andilnya, kurang lebih di antara 60-70 persen dari total limbah Sungai Citarum.

“Limbah dari WC yang tidak terolah dan sampah rumah tangga diperburuk dengan tambahan limba kotoran ternak yang jumlahnya ribuan di sekitar titik nol Citarum,” katanya.

Pencemaran lainnya, lanjut dia, bersumber dari limba sisa industri yang sebagian besar adalah termasuk pada jenis limbah yang berbahaya dan sulit terurai.

3. Solusi agar air Sungai Citarum Bisa Diminum

IDN Times/Galih Persiana

Penanganan Citarum di daerah hulu, terutama di Kawasan Bandung Raya, menjadi titik perhatian utama LIPI. Pasalnya, di sana terdapat 8 anak sungai yang sebagian besar mengalir melintasi pemukiman padat penduduk.

Menanggapi penelitian tersebut, LPTB LIPI saat ini baru saja menawarkan teknologi untuk menjadi solusi memulihkan kotornya Sungai Citarum. Salah satunya ialah toilet pengompos yang pas diterapkan di lingkungan dengan sarana santiasi minim, guna menghentikan limbah rumah tangga yang berasal dari toilet.

“Toilet ini bisa menggantikan keberadaan WC umum sepanjang aliran anak Sungai Citarum sehingga polusi kotoran manusia bisa dikurangi dan kualitas sanitasi masyarakat bisa meningkat. Komposnya bisa dipergunakan tanaman,” ujar dia.

Tak berhenti di situ, LPTB LIPI juga sudah menerapkan teknologi pengolahan limbah cair, khususnya untuk limbah industri pangan seperti tahu dan tempe. Teknologi tersebut dikembangkan dengan teknik multi-tahap di sentra industri tahu di Giriharja, Sumedang.

“Limbah yang dihasilkan menjadi layak buang ke sungai dan biogas yang dihasilkannya telah digunakan oleh 88 rumah tangga di sekitarnya. Teknologi ini juga bisa diaplikasikan untuk penanganan kotoran hewan,” kata Neni.

Baca Juga: [FOTO] Bagaimana Laboratorium LIPI Mengubah Singkong Jadi Bioplastik?

4. Pernah diterapkan di Kiaracondong

IDN Times/Galih Persiana

Salah satu titik Kota Bandung dengan tingkat pencemaran air oleh limbah yang mengkhawatirkan adalah Kiaracondong, kawasan dengan jumlah penduduk sekitar 30 ribu jiwa per kilometer persegi. “Dari jumlah penduduk itu, hanya 50 persennya saja yang memiliki WC mandi dan cuci. Sementara untuk kakus masih terlupakan,” ujar Neni, bercerita waktu ia memulai penelitiannya di Kiaracondong.

Maka itu, agar sungai tidak tercemar, Neni pernah memasang bio-toilet di kawasan tersebut. Ide itu sedikit banyak mengambil dari Jepang dan China, di mana air seni dan kotoran manusia kerap diolah menjadi barang yang bermanfaat seperti pupuk. “Sementara di Indonesia, masalah sanitasi lingkungan kerap dipandang sebagai urusan belakangan,” tuturnya.

Namun, pemasangan bio-toilet di Kiaracondong hanya bertahan satu tahun, karena alasan teknis penerapan di lapangan. Sebelum memasang bio-toilet di Kiaracondong, Neni lebih dulu menerapkannya di Pesantren Daarut Tauhid, Kota Bandung, yang termanfaatkan dengan baik oleh para santrinya.

Baca Juga: LIPI Punya Solusi Atasi Pencemar Sungai Citarum

5. Sudah teruji di Sumedang

IDN Times/Galih Persiana

Sementara itu, pengaplikasian pengolahan limbah industri pangan dan limbah kotoran hewan yang ditawarkan oleh LIPI sebenarnya sudah diuji lebih dulu di Sumedang. Instalasi pengolahan limbah tersebut masih berdiri hingga saat ini.

Dampaknya sungguh luar biasa, kata Neni. Dari sisa proses limbah pengolahan air tahu, instalasi tersebut dapat memproduksi bio gas yang bermanfaat buat masyarakat. “Saat ini, ada 88 KK (Kartu keluarga) yang memanfaatkan itu, jadi tidak perlu lagi beli elpiji,” ujarnya.

Baca Juga: Begini Cara Teknologi LIPI Menyulap Singkong Menjadi Bioplastik

Berita Terkini Lainnya