TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Industri Tekstil Jabar Kabur, Pemprov Minta Bantuan PBB

Pemprov ingin Organisasi Buruh Internasional bikin satgas

IDN Times/Galih Persiana

Bandung, IDN Times – Menemukan titik tengah antara keinginan buruh dan pengusaha adalah hal sulit. Seperti kata Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, adil adalah ujian tersulit bagi seorang pemimpin.

Untuk itu, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat akan meminta pertolongan Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk ikut menengahi problema tersebut.

Ada banyak ketidakcocokan keinginan antara buruh dan pengusaha. Misalnya, soal harapan buruh mendapat upah tinggi, sementara pengusaha makin kesulitan dapat margin.

Ketidakcocokan itu menjadi hal yang melandasi tutupnya 19 usaha Tekstil Produk Tekstil (TPT) di Jawa Barat pada 2018. Selain soal upah pekerja yang dianggap terlalu tinggi, pengusaha TPT juga menggarisbawahi masalah persaingan dengan produk impor, dan beratnya beban biaya pengolahan limbah.

Kepala Disnakertrans Jawa Barat, Ade Afriandi mengatakan bahwa berbagai masalah itu mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk segera membuat satuan tugas ketenagakerjaan. “Kami memanggilnya task force, karen ILO adalah organisasi internasional,” kata Ade, kepada IDN Times di Kantor Dinaskertrans Jawa Barat, Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, Rabu (1/5).

1. Tidak melulu masalah upah

IDN Times/Galih Persiana

Awalnya, Ade pun mengira bahwa upah yang terlalu tinggi menjadi alasan utama di balik minggatnya 19 pabrik TPT itu. Namun, setelah turun ke lapangan, Ade mendapat ada banyak alasan lain yang membuat industri TPT tak dapat berkembang di Jawa Barat.

“Memang di Jawa Barat ini pekerja tekstil dan garmen digaji paling tinggi di Indonesia. Tapi sebenarnya ada juga masalah lain seperti lingkungan pabrik dan lain sebagainya,” kata Ade.

2. Muncul pula masalah buyers

ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya

Ada pula masalah besar yang tak tampak ke permukaan, kata Ade. Misalnya, ialah masalah hubungan kerja antara pengusaha dan buyers, alias pemesan produk.

Ade mencontohkan beberapa pabrik di Subang dan Bogor, Jawa Barat, sempat mengalami masalah dengan para buyers hingga menimbulkan kerugian besar. Buyers-buyers ini biasanya merupakan pemesan asing dengan merek dagang kesohor.

“Jadi misalnya ada buyers memesan produk, kemudian produksinya segera dikerjakan oleh pengusaha. Di tengah produksi, tiba-tiba pengusaha didemo buruhnya. Nah, ketika itu buyers sering kali takut dan kabur sehingga pengusaha bingung harus menjual hasil produksi ke siapa,” tutur Ade.

Kerugian yang timbul bukan hanya dari ongkos produksi dan sulitnya menjual barang saja. Ketika material bahan produk pesanan mesti diimpor, maka pengusaha yang berkewajiban untuk membayarnya.

“Itulah mengapa kami ingin mengajak ILO untuk membuat task force,” ujarnya.

3. Menilai ILO punya jalan keluar

IDN Times/Debbie Sutrisno

Menurut Ade, sebagai organisasi buruh (kini di bawah PBB) yang berdiri sejak 1919, ILO tentu memiliki sepak terjang segudang. Aturan-aturan yang mereka buat kerap kali menjadi acuan internasional dalam menetapkan regulasi ketenagakerjaan di berbagai belahan dunia.

“Dengan adanya task force yang dibangun bersama ILO, kami ingin membereskan semua masalah ini seadill-adilnya. Tidak bisa berbicara upah kemudian menganggap masalahnya selesai. Atau berbicara nasib TPT lalu dianggap selesai. Tidak bisa,” katanya.

4. Kerja sama tengah disusun

IDN Times/Debbie Sutrisno

Saat ini Ade bilang kalau akta kerjasama antara Pemprov Jabar dan ILO masih disusun. Sejak awal, kedua belah pihak memang menginginkan kerjasama dijalin setelah Hari Buruh Internasional 2019 pada 1 Mei.

“Tapi kalau pertemuan informal, kami sudah sering lakukan. Misalnya waktu pengecekan pabrik ke Subang, saya mengajak ILO, kok,” ujarnya.

Jika kerja sama itu rampung dibuat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat resmi menjadi kantor pemerintah pertama yang membuat satgas dengan ILO. “Kerjasama ini bertujuan untuk jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendeknya, kami ingin selama 2019 industri TPT bertahan di Jawa Barat sustainable, bertahan, dan pekerja tidak akan jadi mantan pekerja (tidak akan di-PHK),” tutur Ade.

5. Buruh: upah bukan persoalan

jakarta.tribunnews.com

Berbeda dengan Ade, buruh justru menganggap bahwa upah sama sekali bukan menjadi soal terhadap dicabutnya 19 investasi TPT di Jawa Barat. Roy Jinto, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat, mengatakan bahwa mengeluhkan upah buruh yang dianggap terlalu tinggi tidak relevan dengan praktik di lapangan.

“Karena di mana-mana ya segitu. Berbicara upah, di Jawa Tengah juga sama saja. Persoalannya bukan upah,” kata Roy, ketika dihubungi IDN Times, Senin (29/4).

Ia mengaku beberapa kali berdiskusi dengan pengusaha, dan menemukan kesimpulan bahwa upah tidak menjadi beban finansial terbesar bagi pelaku industri. “Bagi perusahaan TPT, cost upah di Jawa Barat itu masih rendah,” ujarnya.

Menurut Roy, setiap industri TBT pasti dapat mengukur beban upah per tahun matang-matang sebelum proses produksi dilakukan. Pasalnya, pemerintah sendiri telah menetapkan Upah Minimum Kota/kabupaten (UMK) yang dapat menjadi acuan beban perusahaan untuk membayar upah buruh.

Sebaliknya, ia justru menuding pemerintah tidak bisa melayani keinginan pengusaha dengan baik. “Menurut kami persoalan itu dari proses perizinan yang begitu panjang, adanya pungli, suku bunga yang tinggi, dan pajak industri yang terlalu besar,” tutur Roy.

Tak hanya itu, ia pun menilai bahwa pemerintah tak memberikan kontrol yang memihak pada pengusaha tentang masuknya barang TPT impor.

Berita Terkini Lainnya