TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengolah Sampah Jadi Nutrisi Bagi Ibu Hamil dan Menyusui 

Lewat program cantelan warga berupaya menekan angka stunting

Aninani, penerima program cantelan sedang menyiapkan makanan untuk keluarganya. IDN Times/Debbie Sutrisno

Bandung, IDN Times - Ainani, 28 tahun, memotong batang sayur kangkung untuk dipisahkan dari daunnya. Di dapur berukuran 2x2 meter, Ainani tengah mempersiapkan masakan untuk dua anak dan suaminya santap siang. Telur dadar, tahu, dan tempe goreng menjadi pelengkap tumis kangkung yang tengah dimasak.

Sesekali dia melongok anak perempuannya, Aqila Nur Anisa, yang baru berusia 10 bulan, di ruang tengah. Aqila tampak asyik bermain dengan mainannya sembari dijaga oleh adik perempuan Ainani yang juga tinggal di rumah tersebut.

Sambil menunggu masakan matang, Ainani tak lupa menyuapi Aqila dengan biskuit yang diperuntukkan untuk anak di bawah satu tahun. Aqila tampak lahap memakan setiap potongan biskuit yang disuapkan.

Bahan masakan yang disiapkan Ainani baru saja diambil pagi tadi melalui program cantelan, gerakan membagikan makanan sehat yang diinisiasi rukun warga (RW) 06, Kelurahan Gumuruh, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung. Bukan hanya sayuran, biskuit dan susu untuk bayi juga ia dapatkan dari program tersebut.

"Ini baru saya ambil tadi di cantelan. Ada sayuran, telur, terus bumbu masak juga. Nah ini ada makanan (biskuit dan susu) untuk Aqila juga," kata Ainani sembari memperlihatkan barang yang didapatnya, saat berbincang dengan IDN Times, Jumat (25/3/2021).

Ainani merupakan satu dari puluhan ibu menyusui yang hampir setiap bulan mendapat bantuan makanan sehat dari program cantelan. Gerakan ini dijalankan warga RW 06 sejak pandemik COVID-19 menerjang Indonesia.

Dia mengaku sudah mendapat bantuan dari program ini dari umur Aqila 6 bulan di dalam kandungan. Sejak saat itu, dia selalu menerima makanan sehat dan vitamin tambahan untuk ibu yang sedang hamil hampir setiap pekan.

Meski bantuan ini tidak didapat setiap hari, tapi Ainani sangat bersyukur. Minimal dia bisa memberikan makanan sehat kepada anak-anaknya yang masih kecil. Terlebih dengan adanya bantuan seperti susu dan biskuit untuk Aqila, itu sudah lebih dari cukup baginya.

1. Menekan angka stunting di tengah pandemik COVID-19

Anggota Posyandu Kenanga 1 RW 06, Kelurahan Gumuruh, Kota Bandung, tengah mendata penerima program cantelan. IDN Times/Debbie Sutrisno

Pemenuhan nutrisi bagi ibu hamil dan menyusui serta balita menjadi hal krusial bagi tumbuh kembang anak. Kekurangan gizi kepada mereka bisa berdampak pada munculnya anak stunting.

Sayang, pemenuhan gizi tersebut belum bisa dilakukan secara nyata oleh belasan ibu hamil dan puluhan ibu menyusui di RW 06. Musababnya, perekonomian keluarga mereka belum mampu menyediakan makanan bernutrisi. Kondisi itu diperparah karena banyak bapak rumah tangga yang tidak bekerja setelah dirumahkan selama pandemik COVID-19.

Tak ingin membiarkan nutrisi bayi dan ibu hamil terabaikan, puluhan warga di RW 06 yang tergabung dalam Karang Taruna, ibu-ibu PKK, dan perwakilan rukun tetangga (RT) berinisiatif memberikan bantuan sembako dan makanan sehat. Gerakan ini dinamai cantelan. Caranya, dengan menggantungkan makanan di pagar rumah untuk kemudian diambil warga yang membutuhkan.

"Kita ada satu anak di RW 06 ini yang masuk dalam kategori stunting. Berat anaknya kurang, tingginya juga kurang. Anak itu umurnya sekarang sudah masuk tiga tahun. Nah, belajar dari situ kita tidak ingin ada lagi anak stunting di RW ini," kata Sri Antin, kader Posyandu Kenanga 1 di RW 06.

Ani, sapaan akrabnya, menyebut bahwa mayoritas keluarga di RW 06 merupakan warga dengan penghasilan menengah ke bawah. Dengan adanya pandemik ini tidak sedikit keluarga yang kehilangan penghasilannya. Kondisi tersebut jelas akan berdampak pada pemenuhan gizi ibu hamil dan menyusui, serta anak mereka yang masih balita.

Di sisi lain, bantuan sosial (bansos) dari pemerintah yang diharapkan bisa memberi secercah harapan nyatanya tidak kunjung datang. Masih ada keluarga kurang mampu yang ibunya sedang hamil atau menyusui justru tidak mendapat bantuan tersebut. Dari banyaknya pintu bansos, tidak ada satupun yang masuk kepada mereka.

"Jadi cantelan ini juga dapat membantu mereka yang tidak sama sekali mendapat bansos. Nilai cantelan mungkin tidak seberapa, tapi kita berusaha membantu semaksimal mungkin pemenuhan gizinya. Jangan lagi ada anak stunting pokoknya di RW kita," kata Ani.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, prevelensi stunting hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) untuk nasional berada di angka 30,8 persen, Provinsi Jawa Barat 31,1 persen, dan Kota Bandung 21,92 persen.

Khusus di Kota Bandung, TP-PKK mencatat sebanyak 8.434 anak dalam kondisi stunting. Pada 2020 hasil pengukuran di masa pandemi mengalami kenaikan sebesar 2,39 persen. Tertinggi angka stunting ada di Babakan Ciparay dan Kiaracondong, di mana kawasan ini masuk dalam kategori padat penduduk.

Hingga saat ini, selama pandemik COVID-19, belum ada lagi bayi baru lahir masuk dalam kategori stunting di RW 06. Ani sangat berharap ke depannya tidak ada anak kekurangan gizi di wilayah tempat tinggalnya, sehingga bisa mengurangi penambahan angka stunting di Kota Kembang.

2. Uang cantelan didapat dari urunan warga dan mengolah sampah bernilai ekonomis

Anggota Karang Taruna RW 06, Kelurahan Gumuruh, Kota Bandung, sedang memisahkan sampah bernilai ekonomis untuk dijual kembali. IDN Times/Debbie Sutrisno

Ketua RW 06 Sofyan Musthafa ketika berbincang dengan IDN Times menuturkan, sampai saat ini kegiatan cantelan bisa berlangsung minimal satu pekan sekali. Pengumpulan uang untuk cantelan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dari menjual sampah yang bisa didaur ulang hingga barang bekas yang masih memiliki nilai ekonomis. Cantelan diharapkan bisa memenuhi kebutuhan 300 kepala keluarga (KK) yang memiliki penghasilan pas-pasan dan perekonomiannya terdampak pandemik.

Karena jumlah keluarga kurang mampu cukup banyak, Sofyan bersama warga lainnya kemudian berinisiatif mengumpulkan dana untuk memberi bantuan ketika pandemik COVID-19 mulai memperlihatkan dampaknya pada perekonomian keluarga. Dari sana warga mulai mengumpulkan bantuan berupa uang tunai dari mereka yang memiliki penghasilan lebih baik. Kemudian dana yang terkumpul dibelikan sembako untuk langsung dibagikan kepada warga yang harus dibantu.

Untuk setiap kegiatan cantelan, uang yang dibutuhkan tidak sedikit. Setidaknya harus ada Rp3 juta sampai Rp4 juta untuk membuat 250 hingga 300 paket sembako, biskuit ibu hamil, atau susu.

Uang sebesar ini jelas tidak mudah mengumpulkannya. Sebab, tidak mungkin mengandalkan donasi uang tunai dari warga karena mereka pun merasakan dampak pandemik ini.

Setelah berdiskusi, pemuda-pemudi karang taruna berinisiatif untuk mengumpulkan sampah bekas yang masih bisa didaur ulang seperti botol kaca, botol plastik, hingga kardus. Pengumpulan biasanya dilakukan tiga sampai empat kali hingga dana untuk cantelan terkumpul.

"Cara ini juga efektif agar warga mulai sadar untuk memilih sampah yang masih bisa didaur ulang. Kita sosialiasaikan ke mereka dan warga juga mau membantu. Jadi sampah bisa diolah mulai dari masing-masing rumah, untuk kegiatan ini (cantelan). Bagus kan?" ungkap Sofyan.

Baca Juga: 11 Potret Kegiatan Cantelan, Ubah Sampah Jadi Nutrisi Bagi Ibu Hamil

3. Karang taruna berkeliling mencari sampah dan barang bekas dari rumah warga untuk dijual kembali

Pengumpulan sampah untuk program cantelan dibantu Karang Taruna dan warga di RW 06, Kelurahan Gumurah, Kota Bandung. IDN Times/Debbie Sutrisno

Ketua Karang Taruna RW 06 Kokom Komariah menuturkan, kegiatan cantelan yang diinisasi RW 06 menjadi program yang harus dikerjakan bersama-sama. Dengan semangat 'sauyunan', Kokom ingin agar kegiatan ini dilakukan seluruh elemen di sekitar RW sehingga semuanya merasa saling memiliki tali persaudaraan.

"Sekarang setiap masyarakat kena dampak (COVID-19). Jadi kita coba bergerak dengan hati nurani," ujarnya.

Saat ini ada 50 pemuda dan pemudi Karang Taruna yang ikut serta. Mulai dari yang mengumpulkan, memilah, dan menjual dilakukan dengan membagi pekerjaan. Pengumpulan sampah sendiri biasanya dilakukan setiap akhir pekan. Tapi tidak sedikit yang menampung ketika warga ada yang ingin memberikan barang bekasnya.

Agar lebih menarik, ketika berkeliling menelusuri gang-gang pemukiman warga saat mencari sampah dan barang bekas, Kokom bersama anggota Karang Taruna lainnya menggunakan musik sebagai pengingat kepada warga bahwa mereka datang untuk mencari sampah.

"Kita pakai yang ada saja alat musik di sekre. Cara ini sudah turun menurun, tradisi istilahnya. Biar gak bosen juga kan jadi rasa capeknya gak kerasa," kata dia.

Sampah yang dikumpulkan pun beragam. Mulai dari sampah kertas, botol bekas, kardus, galon air minum, hingga peralatan elektronik yang sudah usang. Tak jarang warga memberikan alat elektronik besar seperti mesin cuci hingga kulkas bekas.

Karang Taruna jelas kegirangan. Sebab alat-alat elektronik seperti ini nilai jualnya lebih tinggi. Alhasil pengumpulan dana cantelan pun lebih cepat dan lebih besar.

4. Waspada anemia zat besi, momok lintas generasi yang bisa berdampak pada stunting

Ilustrasi foto penderita anemia. freepik.com/yanalya

Pemenuhan gizi untuk perempuan baik mereka yang remaja, ibu hamil, dan menyusui sangat penting dalam tumbuh kembang anak yang mereka lahirkan. Salah satu yang harus diwaspadai dalam perkembangan seorang anak adalah penyakit anemia yang merupakan penyakit lintas generasi, karena bisa terjadi pada kalangan umur berapapun. Penyakit ini pun bisa berdampak para lahirnya anak dengan kategori malnutrisi.

Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia Nutrition Association Diana Sunandi menjelaskan, angka penderita anemia kurang zat besi (ADB) di Indonesia masih tinggi khusus untuk perempuan hamil yang mencapai 37,1 persen pada 2013. Berdasarkan data Riskesdas 2018, angka tersebut naik menjadi 48,9 persen.

Sedangkan untuk perempuan remaja dengan rentang umur 15 tahun ke atas yang menderita anemia angkanya mencapai 22,7 persen.

Tingginya angka tersebut jelas bukan kabar baik. Sebab, dari anemia yang dimiliki seorang perempuan, bisa berdampak pada buruknya penyerapan gizi. Alhasil itu akan memengaruhi angka anak stunting.

"Ini harus diwaspadai karena tingginya angka penderita anemia pada perempuan akan berdampak pada angka anak dengan malnutrisi atau stunting. Angka stunting kita juga masih tinggi di 37 persen," kata dia dalam diskusi daring Nutrisi Lintas Generasi, beberapa waktu lalu.

Adapun gejala anemia pada seseorang bisa dilihat di antaranya dari kelopak mata yang pucat, sakit kepala, kulit pucat, tekanan darah rendah, nafas sesak, hingga pembesaran limpa.

Menurutnya, dampak anemia pada kehamilan cukup serius. Penyakit tersebut bisa membuat seseorang yang hamil memiliki risiko infeksi, gangguan pertumbuhan janin, terjadinya pre eklamsia, hingga lahirnya anak yang prematur.

Untuk meminimalisir kemungkinan anemia, Dina mengimbau masyarakat agar bisa menjaga asupan makanan yang tepat. Beberapa faktor yang bisa membuat seseorang memiliki anemia adalah asupan zat besi yang rendah, terutama besi heme, asupan vitamin C yang kurang, konsumsi sumber fitat yang berlebihan, sumber tannin (kopi, teh) berlebih, hingga menjalankan diet yang tidak seimbang.

Pada kasus stunting dan anemia balita atau anak, lanjut Dina, ADB bermula dari kekurangan zat gizi mikro pada 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan). Maka, skala prioritas perbaikan nutrisi dan gizi untuk mencegah stunting harus dilakukan pada 1.000 HPK. Kekurangan nutrisi dan gizi berpengaruh jangka pendek dan jangka panjang pada tiap-tiap tingkatan generasi.

"Kita harus bisa membuat asupan gizi seimbang. Bila asupan didominasi sumber besi nonheme, pastikan dikonsumsi bersamaan dengan unsur yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi," kata dia.

Baca Juga: 5 Makanan yang Bisa Atasi Lemah dan Lesu, Sumber Nutrisi yang Enak!

Baca Juga: Cegah Anemia, Ini 5 Buah dan Sayur yang Tinggi Zat Besi

Berita Terkini Lainnya