Kenapa Kita Suka Menunda untuk Balas Chat? Ini Penjelasan Ilmiahnya

- Beban mental kecil yang tidak disadari
- Kita tidak ingin salah merespons dalam kondisi emosi yang kurang stabil
- Notifikasi terlalu banyak, otak menjadi kewalahan
Bandung, IDN Times - Pernah gak kamu menerima chat, baca sekilas, lalu malah mendiamkannya? Bukan karena benci atau malas ngobrol, tapi rasanya seperti ada energi yang terkuras hanya untuk mengetik satu kalimat.
Anehnya lagi, kita tetap aktif bermain media sosial, scroll video lucu, atau bahkan posting sesuatu, meski chat itu tetap belum dibalas.
Fenomena “nunda chat” ini dialami banyak orang, terutama anak muda yang hidup di era serba cepat dan serba terhubung. Ada perasaan campur aduk yang muncul: ingin membalas, tapi otak bekerja terlalu lambat atau suasana hati belum pas.
Kadang kita bahkan merasa bersalah, tapi tetap saja belum tergerak membalasnya.
Beberapa orang menganggap kebiasaan ini sebagai bentuk tidak sopan. Padahal kenyataannya, perilaku ini jauh lebih kompleks dan berakar dari berbagai faktor psikologis mikro yang bekerja tanpa kita sadari. Mulai dari beban mental hingga kecenderungan menghindari tekanan sosial.
Supaya nggak merasa sendirian, berikut penjelasan ringan tentang alasan kenapa kita sering menunda balas chat dalam kehidupan digital saat ini.
1. Ada beban mental kecil yang tidak kita sadari

Balas chat sebenarnya membutuhkan proses kognitif: membaca konteks, memproses maksud lawan bicara, dan merangkai respons yang tepat. Untuk otak yang sudah lelah setelah aktivitas seharian, hal kecil ini bisa terasa berat.
Sering kali, kita nggak siap mengeluarkan energi untuk merespons secara tepat, terutama jika chat tersebut bersifat sensitif, kompleks, atau membutuhkan keputusan. Akhirnya, kita memilih untuk menunda untuk membalas atau bahkan melupakannya.
Fenomena ini disebut micro-effort resistance, yaitu keengganan melakukan kerja mental kecil ketika kondisi mental sedang jenuh.
2. Kita tidak ingin salah merespons dalam kondisi emosi yang kurang stabil

Kadang-kadang, kita membaca chat pada saat yang kurang pas: lagi marah, lagi sedih, lagi capek, atau lagi tidak ingin bersosialisasi.
Dalam kondisi seperti itu, otak menunda respons untuk menghindari hasil yang impulsif. Kita ingin memberikan jawaban yang baik, tapi tidak sekarang. Jadi, menunda terasa seperti pilihan paling aman.
Sayangnya, setelah suasana hati membaik, sering kali kita malah lupa balas chat tersebut.
3. Notifikasi terlalu banyak, otak menjadi kewalahan

Hidup di era digital membuat kita kebanjiran notifikasi: WhatsApp, Instagram, email, grup kerja, dan promosi. Tumpukan ini bisa menciptakan notification fatigue—kelelahan karena terlalu banyak pesan masuk.
Ketika otak sudah overload, pesan tertentu akan terdorong ke urutan rendah, meski sebenarnya penting. Kita baru sadar setelah berjam-jam atau berhari-hari.
Pada titik ini, responsnya biasanya cuma satu yaitu menyalahkan diri sendiri karena telat merespons.
4. Ada perasaan tekanan sosial yang ingin kita hindari

Tekanan untuk cepat membalas atau memberikan jawaban sempurna bisa bikin kita memilih menunda. Apalagi jika pembicaraan itu menyangkut permintaan bantuan, undangan, atau topik yang membuat kita tidak nyaman.
Otak memilih strategi menghindar sementara untuk menurunkan tekanan. Ini adalah bentuk social buffering, yaitu jeda untuk mengatur emosi sebelum menghadapi interaksi sosial.
Hasilnya, pesan itu tetap terbaca, tapi teap tidak dibalas.
5. Kita merasa hubungan dengan orang tertentu “aman”, jadi nggak harus cepat balas

Aneh tapi nyata: justru kepada orang-orang terdekat kita paling sering menunda balasan. Kenapa? Karena kita merasa hubungan tersebut aman.
Ini disebut secure detachment, di mana kita merasa orang itu akan tetap memahami meski respons kita lambat. Bukan karena tidak peduli, tapi justru karena hubungan sudah nyaman.
Efek sampingnya, chat dari teman terdekat sering menumpuk paling lama di kolom notifikasi.
Menunda balas chat bukan tanda seseorang tidak peduli. Banyak faktor psikologis kecil yang bekerja di baliknya, mulai dari kelelahan mental, tekanan sosial, hingga kebutuhan jeda emosi. Di tengah dunia digital yang serba cepat, wajar kalau kita butuh waktu untuk merespons dengan tenang.
Semoga dengan memahami hal ini, kita bisa sedikit lebih lembut pada diri sendiri dan lebih pengertian pada orang lain.

















