Terdorong Papua Merdeka, Kisah MUI Terbitkan Fatwa Haram Pemberontakan

MUI haramkan OPM pada 2006

Bandung, IDN Times – Jika Anda menyimpan buku tebal berjudul “Himpunan Fatwa MUI”, bukalah halaman 833. Di sana, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencatat sebuah Fatwa Masasil Asasiyah Wathanah, atau jika diterjemahkan berarti Masalah Prinsip Kebangsaan.

Penerbitan fatwa tersebut dikisahkan menempuh diskusi mendalam dan waktu pembahasan yang panjang. Fatwa ini diterbitkan sebagai upaya para ulama Indonesia untuk memerangi kelompok separatis, salah satunya Organisasi Papua Merdeka (OPM). MUI bahkan secara gamblang mengharamkan gerakan tersebut karena tergolong pada bughat (pemberontakan).

1. Dibentuk karena maraknya gerakan separatis

Terdorong Papua Merdeka, Kisah MUI Terbitkan Fatwa Haram PemberontakanIDN Times/Galih Persiana

Fatwa Masasil Asasiyah Wathanah disusun pada 2006 ketika banyak gerakan separatis bermunculan di sekujur wilayah Indonesia. Fatwa disusun setelah MUI menimbang bahayanya gerakan pemisahan diri dari NKRI seperti yang dilakukan kelompok Republik Maluku Selatan (RMS), dan OPM.

Di bawah Fatwa Masasil Asasiyah Wathaniyah, terdapat tiga keputusan utama yakni Peneguhan Bentuk dan Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia; Harmonisasi Kerangka Berpikir Keagamaan dalam Konteks Kebangsaan; dan Taswiyat Al-Manhaj (Penyamaan Pola Pikir dalam Masalah-masalah Keagamaan).

Masasil Asasiyah Wathanah itu induknya, di dalamnya ada tiga pokok bahasan. Yang berkaitan dengan bughat masuk di dalam poin ini, poin pertama tentang peneguhan bentuk dan eksistensi negara kesatuan,” kata Rafani Akhyar, Sekretaris MUI Jawa Barat, kepada IDN Times, sambil menunjuk fatwa yang dimaksud pada Kamis (16/5) lalu.

2. Apa pun yang berkaitan dengan bughat itu haram

Terdorong Papua Merdeka, Kisah MUI Terbitkan Fatwa Haram PemberontakanIDN Times/Galih Persiana

Dalam pokok bahasan Peneguhan Bentuk dan Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, terdapat enam poin dengan maksud yang berbeda-beda. Dua di antaranya menerangkan secara singkat tentang proses pembentukan NKRI, sementara empat poin lainnya berbicara tentang gerakan separatis.

Sementara itu, kata “bughat” baru tercantum di poin keenam yang berisi: “Setiap orang, kelompok masyarakat lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi tersembunyi, dalam aktivitasnya yang mengarah pada tindakan pemisahan diri (separatisme) dari NKRI adalah termasuk bughat”. Di mana apa pun yang berkaitan dengan bughat, kata Rafani, hukumnya haram.

Nah, dalam hasanah fikih siyasah (seluk beluk pengaturan kepentingan umat), keinginan memisahkan diri adalah bughat. Pemberontakan. Bughat itu adalah haram, mutlak haram. Fatwa MUI itu mengatakan, jadi siapa pun yang terlibat dalam gerakan bughat, mau perorangan, kelompok, lembaga, tetap itu dikategorikan bughat. Dan itu hukumnya pemerintah wajib memerangi, menurut pandangan fikih siyasah,” tutur Rafani.

Penetapan fatwa tersebut dilandasi lima ayat suci Al-Quran, lima hadis Nabi Muhammad SAW, potongan pendapat Shahib Al-Majmu, potongan pendapat Ibn Hajar Al-Asqalany, potongan pendapat Bughyat Al-Mustarsyidin, dan Kaidah Ushuliyah.

3. Fatwa dipakai untuk haramkan aksi 22 Mei 2019

Terdorong Papua Merdeka, Kisah MUI Terbitkan Fatwa Haram PemberontakanIDN Times/Gregorius Aryodamar P

Terakhir kali fatwa ini kembali mencuat ke permukaan setelah Ketua MUI Jawa Barat, Rahmat Syafei, mengatakan bahwa aksi 22 Mei 2019—di mana terjadi kerusuhan di Jakarta terkait Pilpres 2019—sebagai bughat. Ia menggunakan Fatwa Masasil Asasiyah Wathanah untuk bikin imbauan larangan umat muslim Indonesia mengikuti aksi tersebut.

Bagi Rafani, pada prinsipnya, gerakan masyarakat pada aksi 22 Mei 2019 yang diprakarsai oleh para pendukung Pasangan Calon Presiden nomor urut 02 pada Pilpres 2019, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, bertujuan untuk menolak hasil rekapitulasi suara Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Bahkan, ketika itu Front Pembela Islam (FPI), salah satu ormas yang mendukung Prabowo-Sandiaga, secara terang-terangan menuntut KPU untuk memenangkan pasangan pilihannya, karena pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dianggap banyak menempuh cara curang selama proses pemilu.

Atas berbagai tuntutan itu, lanjut Rafani, MUI menetapkan aksi 22 Mei 2019 sebagai bughat. “Iya, itu masih masuk (ke dalam nilai bughat). Ini kan menggulingkan, menurunkan (hasil KPU yang memenangkan Jokowi-Ma’ruf) dengan cara tidak sah, ya, sama aja dengan pemberontakan,” ujarnya.

4. Siapa OPM?

Terdorong Papua Merdeka, Kisah MUI Terbitkan Fatwa Haram Pemberontakanantaranews.com

OPM merupakan organisasi yang berdiri sejak 1965 dengan semangat penduduk sekitar yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Pada masa-masa awal kelahirannya, OPM telah dikenal dengan para pasukannya yang militan.

Hingga saat ini, semangat OPM untuk memisahkan diri dari Indonesia tak kunjung luntur sekali pun mesti mengorbankan banyak nyawa. Mereka tetap menganggap bahwa dengan merdeka warga Papua dapat hidup mandiri dan lebih maju dibandingkan sekarang.

Terakhir kali pimpinan OPM, Egianus Kogoya, dikabarkan menembak Pratu Sirwandi, pasukan Batalyon Infanteri (Yonif) RK 751/VJS di bagian dada dan perut. Setelah ditembak di sekitar KM39 Jalan Trans Wamena-Habema, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Pratu pun dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah pada Sabtu (17/8) pukul 21.35 WIT. Di rumah sakit, ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah dokter melakukan berbagai upaya.

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya