TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Penjaga Perlintasan KA Sebidang di KBB: Hanya Diniatkan Ibadah

Puluhan tahun jaga pintu kereta api 'terlarang'

Pintu Perlintasa Kereta Api di Kampung Sumur Bor, Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah, KBB. (Rizki/IDNTimes)

Bandung Barat, IDN Times - Tugas berat menjaga perlintasan kereta api dipikul
Ujang Sumarna (51). Penglihatannya harus selalu awas sebelum kereta api melintas. Terlebih perlintasan yang ia jaga tidak resmi.

Ia adalah salah satu relawan yang berjaga di perlintasan kereta api Kampung Sumur Bor, Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat. Setiap harinya ia bertugas mengatur lalu lintas di perlintasan sebidang tersebut.

Matahari bersinar terik membakar kulit Ujang yang kian keriput dimakan waktu. Mengenakan rompi, pria paruh baya itu menghalau kendaraan baik roda dua, roda empat, maupun pejalan kaki. Tatapannya tak lepas dari kedua arah dan lampu pertanda kereta akan melintas

Bagi Ujang, keselamatan pengendara jadi prioritas tugasnya sebagai relawan perlintasan sebidang yang menjadi jalur utama dari Jalan Raya Cimareme menuju Kantor Pemerintahan Kabupaten Bandung Barat itu yang memang sibuk setiap waktu. Tak cuma oleh kendaraan roda dua dan roda empat, namun juga oleh kereta api.

Terlebih, belakangan ini jadwal kereta api yang lewat lebih intens ketimbang sebelumnya. Hal itu lantaran adanya operasional kereta api feeder dari Stasiun Bandung menuju Stasiun Kereta Cepat Whoos, maupun sebaliknya.

"Saya sudah lama jaga di sini, ya bisa dibilang sudah 26 tahun, dari tahun 1998. Sebelumnya meneruskan tugas orang tua, dari tahun 80-an," ujar Ujang, Senin (9/9/2024).

1. Perlintasan kerap telan korban jiwa

Ujang menyebut perlintasan itu tak mungkin dibiarkan tanpa penjagaan. Sebab sudah puluhan tahun, memang dibiarkan tanpa palang pintu otomatis seperti di perlintasan yang mengiris jalan raya.

Sehingga perlintasan kereta api itu dikenal cukup angker karena beberapa kali menelan korban jiwa. Terakhir, sebuah minibus yang mengangkut penumpang tertabrak Kereta Api Feeder hingga menewaskan sejumlah korban jiwa.

"Niatnya kita ibadah, supaya yang lewat di sini aman. Soalnya memang sering kecelakaan juga, termasuk yang mobil ditabrak feeder itu yang terakhir. Sampai ada 6 orang meninggal," tutur Ujang.

2. Dibayar seikhlasnya

Tugasnya memang terlihat sepele. Namun sebetulnya memiliki risiko tinggi, lantaran ia harus menghafal jadwal kereta yang melintas. Seketika itu, ia mesti buru-buru menyetop kendaraan supaya tak terjadi kecelakaan.

Setelah mengetahui kereta api akan datang, ia langsung menutup palang pintu manual yang dipasang usai kecelakaan maut itu.

"Kalau jadwal itu ya kita tahu sendiri, gak ada dari KAI. Sudah tahu jadwalnya, karena sudah puluhan tahun. Sekarang jedanya itu sekitar 8 menit antar kereta," ujar Ujang.

Puluhan tahun bergelut dengan bahaya, Ujang tak punya penghasilan tetap. Ia tak juga meminta secara paksa pada pengendara supaya diberi uang. Dirinya hanya menerima pundi-pundi seikhlasnya jika ada yang memberi.

"Gak bisa ditentukan. Kadang-kadang Rp100 ribu, bisa turun paling Rp60 ribu atau Rp80 ribu. Tapi memang setiap hari pasti dapat, pernah paling sedikit Rp30 ribu sampai Rp40 ribu," terang Ujang.

Verified

Rizki

Sehat, soleh, rezeki nomplok

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya