Dedi Mulyadi: Revisi KKP No 56 Harus Perhatikan Nelayan Jangka Panjang
Jangn bunuh nelayan Indonesia jangka panjang
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Bandung, IDN Times - Revisi peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) No 56 tahun 2016 tentang larangan penangkapan bayi lobster, kepiting, dan rajungan menuai pro dan kontra.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi meminta Menteri Kelautan dan Perikanan untuk berhati-hati merevisi peraturan, terutama terkait legalitas penjualan bayi lobster. Menurut Dedi, revisi aturan larangan penangkapan bayi lobster hanya untuk kepentingan jangka pendek dan tidak mempertimbangkan konservasi kelautan.
"Revisi (peraturan KKP) harus hati-hati, harus mempertimbangkan konservasi lingkungan. Bicarakan dengan pakar-pakar kelautan yang berpihak bagi kepentingan nelayan," kata Dedi di Purwakarta, dalam rilis yang diterima IDN Times, Kamis (30/1).
1. Jika direvisi ancaman kekurangan bibit lobster bisa terjadi di Indonesia
Menurut Dedi, memperjuangkan kepentingan nelayan itu bukan berarti semua keinginan mereka hari ini harus dipenuhi. Ada aturan yang boleh direvisi dan ada yang tidak. Aturan yang diharapkan tidak boleh direvisi adalah terkait legalitas penjualan bayi lobster. Aturan itu tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) KP No 56 tahun 2016 yang menyebutkan larangan penangkapan bayi lobster, kepiting, dan rajungan.
Menurutnya, jika bayi lobster dijual, maka Indonesia akan mengalami kekurangan bibit yang tentu saja akan merusak masa depan kelautan.
Dedi mencontohkan, misalnya, bayi lobster diperbolehkan ditangkap dan diperjualbelikan. Mereka akan kehilangan lobster yang jauh lebih ekonomis.
"Lobster itu harganya Rp4 juta. Tapi bayi lobster itu cuma ratusan ribu. Coba mending pilih mana," katanya.
Lalu ke depan, kata Dedi, Indonesia akan mengalami krisis bayi lobster. Sementara negara lain akan menjadi penghasil lobster terbesar di dunia.