Pasang Surut Industri Tekstil di Jabar, Siapa yang Disalahkan?
Pemerintah, pengusaha, buruh, dan upah
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Bandung, IDN Times – Sejak awal 2019, berbagai industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Jawa Barat mengeluhkan keadaan mereka. Mereka mengaku mengarungi 2018 dengan susah payah akibat beberapa hal yang memberatkan industri TPT secara finansial.
Ada beberapa alasan, di antaranya ialah tingginya upah tenaga kerja, persaingan dengan produk impor, dan beratnya beban biaya pengolahan limbah. Alasan itu membuat Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia bereaksi. Mereka menganggap alasan upah tenaga kerja yang terlalu tinggi tidak masuk di akal.
Berbeda dengan para pelaku industri TPT, Kementerian Perdagangan justru berpikir bahwa pertumbuhan industri TPT akan meningkat drastis pada semester I 2019. Proyeksi tersebut dibuat berlandaskan momentum Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2019 yang berdekatan dengan bulan puasa.
Kemendag bahkan berharap pertumbuhan industri TPT akan melampaui capaian tahun lalu. Sepanjang 2018, industri TPT berhasil tumbuh sebesar 8,37 persen.
Bagaimana serikat buruh menyikapi keluhan para pelaku industri TPT?
1. Upah bukan persoalan
Roy Jinto, Ketua KSPSI Jawa Barat, mengatakan bahwa mengeluhkan upah buruh yang dianggap terlalu tinggi tidak relevan dengan praktik di lapangan. “Karena di mana-mana ya segitu. Berbicara upah, di Jawa Tengah juga sama saja. Persoalannya bukan upah,” kata Roy, ketika dihubungi IDN Times, Senin (29/4).
Ia mengaku beberapa kali berdiskusi dengan pengusaha, dan menemukan kesimpulan bahwa upah tidak menjadi beban finansial terbesar bagi pelaku industri. “Bagi perusahaan (TPT) cost upah di Jawa Barat itu masih rendah,” ujarnya.