Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Memahami Quiet Luxury, Tanda Kemewahan Tersembunyi dalam Fashion

Ide outfit old money style pria (pinterest.com)
Ide outfit old money style pria (pinterest.com)
Intinya sih...
  • Tren logo yang dominan kian meredup
    • Industri busana dikuasai oleh para penyuka logo
    • Orang-orang dengan ekonomi kelas atas beralih ke arah mode yang lebih kalem
    • Fenomena quiet luxury muncul setelah serial HBO berjudul Succession ditonton banyak orang
    • Mengapa tren ini digemari?
      • Keseganan untuk pamer di era krisis pasca-pandemik COVID-19
      • Orang kaya mencari cara lain untuk menunjukkan status mereka
      • Kemewahan tidak harus mewah; kesederhanaan bisa menjadi mewah jika langka dan memiliki kualitas luar biasa
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times – Di sebuah minimarket di pusat Kota Bandung, seorang pria turun dari ojek online, memberikan helm kepada pengemudinya, dan dengan santai berjalan memasuki gerai. Dengan celana denim dan kaos polos pada tubuhnya yang tegap, sebenarnya tidak ada yang mencolok dari pria itu--kecuali kamu benar-benar cermat.

Setelah berbelanja, ia memasuki antrean pendek di kasir minimarket. Tidak ada yang aneh dalam situasi itu, tidak pula ada yang menyadari bahwa di pergelangan kiri tangannya terpasang Sea-Dweller—jam tangan idaman para penyelam.

Rolex Sea-Dweller dibikin tahun 1967 dan terus berkembang hingga sekarang. Jam tangan ini dirancang dan dialamatkan untuk penyelam laut dalam, dengan kebutuhan ketahanan air yang lebih tinggi daripada jenis Submariner. Harganya? Bisa membeli satu unit mobil multi-purpose (MPV) pabrikan Jepang teranyar.

Fenomena pria dengan satu unit MPV di tangannya itu disebut dengan quiet luxury. Kita dibikin bertanya-tanya, jika ia mampu membeli Rolex Sea-Dweller, sebenarnya kaos polos apa yang ia pakai? Berapa harganya? Bagaimana dengan celana denim yang ia kenakan? Apakah ada merek besar atau desainer populer di balik celana tersebut?

Fenomena quiet luxury ini menjelaskan gaya berbusana di mana menolak kemewahan yang mencolok, dan memilih kesederhanaan yang elegan.

Lantas, bagaimana dunia fashion memasuki mode quiet luxury?

1. Tren logo yang dominan kian meredup

ilustrasi produk Supreme (instagram.com/supremenewyork)
ilustrasi produk Supreme (instagram.com/supremenewyork)

Dalam beberapa dekade, termasuk pada 2010-2020, industri busana dikuasai oleh para penyuka logo. Barang-barang sederhana yang terlihat simpel, menjadi sangat mahal ketika terdapat logo merek kenamaan.

Pada era tersebut, tas jinjing dengan enamel Gucci mengkilat, kaos dengan logo Supreme yang dominan, hingga sneakers keluaran terbatas, kerap menjadi cara populer dalam menunjukkan status di tengah masyarakat.

Saat ini kenyataannya, tren tersebut kian meredup. Orang-orang dengan ekonomi kelas atas, terutama mereka yang sudah lama hidup di lingkungan elite, mulai beralih ke arah mode yang lebih kalem; fashion tanpa logo dengan warna yang netral.  

Banyak pendapat tentang kapan munculnya fenomena ini. Salah satu pendapat yang populer memandang bahwa quiet luxury muncul setelah serial HBO berjudul Succession ditonton banyak orang.

Singkatnya, Succession menampilkan keluarga miliarder yang kerap tampil dengan busana super mahal namun terlihat biasa saja di mata awam. Dari sana pula istilah stealth wealth atau old money aesthetic ikut populer.

Di sisi lain, tumpukan konten di sosial media mendorong fenomena tersebut masuk menjadi budaya internet. Tagar IYKYK alias If You Know, You Know (Kalau Anda Tahu, Anda Tahu) melabeli konten-konten bertema quiet luxury. Seakan-akan menekankan bahwa hanya kalangan terbatas yang memahami maksud dari konten tersebut.

2. Mengapa tren ini digemari?

OOTD old money vibes ala Nine Naphat (instagram.com/naphat_nine)
OOTD old money vibes ala Nine Naphat (instagram.com/naphat_nine)

Ada banyak alasan mengapa tren quiet luxury digemari banyak orang dengan kelas ekonomi atas. Salah satunya ialah keseganan untuk pamer di era krisis, di mana rasa itu muncul pasca-pandemik COVID-19.

Ketika itu, orang-orang lebih sensitif terhadap kesenjangan ekonomi. Maka itu, menampilkan kemewahan mencolok bisa jadi dianggap tidak etis.

Di sisi lain, Florent Girardin, Asisten Profesor Pemasaran EHL Swiss dalam jurnalnya yang berjudul “Quiet Luxury: The Art of Understated Wealth” menjelaskan jika fenomena quiet luxury hadir karena orang kaya mencari cara lain untuk menunjukkan status mereka.

Mereka kini tidak memilih untuk menunjukkan status lewat logo semata, sebab logo lebih mudah untuk ditiru. Para orang kaya memilih pakaian berdasarkan kualitas bahan, detail jahitan, atau potongan pakaian yang unik.

“Kemewahan ini tidak harus mewah; kesederhanaan bisa menjadi mewah jika langka dan memiliki kualitas yang luar biasa. Di era yang ditandai dengan hiperkonektivitas dan konsumsi yang berlebihan, terdapat permintaan yang semakin meningkat akan pengalaman autentik dan bermakna yang memberikan rasa unik dan kepuasan pribadi,” tulis Girardin.

3. Peluang dan tantangan bagi merek

ilustrasi menjahit (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi menjahit (pexels.com/cottonbro studio)

Di Indonesia, tren quiet luxury bisa dilihat di sekitar kita, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Hal tersebut pun direspons oleh banyak jenama di Indonesia, di mana kini desainer lokal mulai berani mengusung kain premium khas Nusantara seperti misalnya tenun hingga songket.

Tren ini tentu menghadirkan tantangan sekaligus peluang bagi merek-merek besar. Setelah melalui tren ‘logomania’, mereka kini mesti banting setir untuk berani mendesain sesuatu yang tidak mencolok, namun tetap relevan dan diminati.

Bahkan, lebih daripada itu, jenama-jenama besar mesti mendefinisikan ulang narasi merek mereka, misalnya dengan kembali mengulas sejarah mereka seraya menawarkan eksklusivitas pada konsumen.

4. Kritik pada tren quiet luxury

ilustrasi vibe old money (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi vibe old money (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Di sisi lain, tren quiet luxury populer bukan tanpa kritik. Tidak sedikit orang yang menilai bahwa alih-alih menunjukkan kesederhanaan, tren quiet luxury justru memperdalam jurang sosial.

Pasalnya, kaos polos yang terlihat sama bisa mendapatkan label harga yang jauh berbeda. Seakan-akan, hanya segelintir orang yang mengerti saja yang dapat memahami kontras perbedaan harga tersebut.

“Dari perspektif sosiologis, penerimaan terhadap quiet luxury mungkin mencerminkan pergeseran budaya yang lebih luas menuju individualisme dan pemenuhan diri,” kata Girardin.

Quiet luxury adalah paradoks. Ia tampak sederhana, tapi sesungguhnya mahal. Ia tidak berisik, tapi diam-diam berteriak tentang status. Dalam dunia di mana logo bisa dipalsukan dan kemewahan bisa ditiru, gaya hidup ini menjadi semacam sandi sosial: hanya mereka yang benar-benar tahu, yang bisa membaca pesannya.

Share
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us

Latest Life Jawa Barat

See More

3 Zodiak Paling Jago Usir Suasana Negatif Pas Nongkrong, Happy Terus!

08 Sep 2025, 16:00 WIBLife