Sejarah Gedung Syahrir, Lokasi Rapat Naskah Perundingan Linggarjati

Saksi bisu perjuangan nasib Indonesia pasca kemerdekaan

Sebuah bangunan tua di Desa Bandorasa Wetan, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan disebut sebagai Gedung Syahrir. Penyebutan bangunan ini bukan tanpa alasan, sebab pernah menjadi tempat menginap bagi Sutan Sjahrir dan para tokoh Indonesia yang jadi delegasi di Perundingan Linggarjati tahun 1946.

Sebelum ditempati sebagai hotel untuk Perundingan Linggarjati, Gedung Syahrir telah melalui beberapa kali alih fungsi dan renovasi. Yuk, intip sejarahnya.

1. Awalnya berupa gubuk milik pribumi

Sejarah Gedung Syahrir, Lokasi Rapat Naskah Perundingan Linggarjatikamar inap para delegasi Perundingan Linggarjati di Museum Linggarjati (indonesiakaya.com)

Sebelum kondisinya berubah seperti sekarang, dulunya Gedung Syahrir adalah rumah sederhana milik Ibu Jatisem yang dibangun pada 1918. Ia menikah dengan orang Belanda dan tinggal di rumah tersebut selama beberapa tahun.

Sepeninggal pasangan tersebut, rumah sempat beberapa kali berpindah tangan dan beralih fungsi, salah satunya sebagai gudang amunisi milik Korem 063/SGJ. Meski bangunan bergaya art deco ini masih berdiri kokoh, namun dinding dan beberapa bagian telah mengelupas dan diselimuti lumut.

Baca Juga: Isi Perjanjian Renville, Tokoh, Latar Belakang, dan Dampaknya

2. Alasan pemilihan Gedung Syahrir sebagai akomodasi selama Perundingan Linggarjati

Sejarah Gedung Syahrir, Lokasi Rapat Naskah Perundingan LinggarjatiSutan Sjahrir dan Wim Schermerhorn sedang menyusun Perundingan Linggarjati (commons.wikimedia.org/IPPHOS)

Saat merencanakan perundingan, Soekarno-Hatta sempat mengusulkan agar perundingan dilaksanakan di Yogyakarta yang saat itu merupakan Ibu Kota Sementara. Namun, Belanda menolak dan ingin agar pertemuan untuk membahas kesepakatan nasib Indonesia dilangsungkan di Jakarta, yang kala itu adalah daerah kekuasaan Belanda.

Lalu, Maria Ulfah Santoso menyarankan Linggarjati sebagai lokasi perundingan kepada Sutan Sjahrir dengan disertai jaminan dari sisi keamanan, sebagaimana disebut pada keterangan foto Maria Ulfah di Gedung Linggarjati. Bagi yang belum tahu, Maria Ulfah adalah putri mantan Bupati Kuningan R Mohamad Ahmad (periode 1921-1940).

Usulan tersebut bukan tanpa alasan. Hal itu karena residen dan bupati Cirebon yang kala itu menjabat adalah anggota Partai Sosialis, sehingga termasuk 'anak buah' Sutan Sjahrir.

Sebagaimana diketahui, selain pendiri Partai Sosialis, Sutan Sjahrir pada era Soekarno juga menjabat sebagai Perdana Menteri. Ia mendapat tugas untuk mewakili Indonesia atau menjadi ketua pada Perundingan Linggarjati dengan Belanda.

Lokasi perundingan di Linggarjati pun disepakati pihak Indonesia dan Belanda. Selama perundingan, Gedung Syahrir dihuni oleh para tokoh Indonesia seperti Sjahrir, Mohamad Roem, Agus Salim, dan lainnya sebagai tempat rapat pasal-pasal yang akan diajukan ke perundingan. Penyusunan naskah liputan yang akan dikabarkan ke dunia internasional oleh wartawan juga ikut dilakukan di Gedung Syahrir.

Sementara Lord Killearn dan delegasi dari pihak Belanda yang dipimpin Prof. Schermerhorn menguhuni Gedung Perundingan Linggarjati.

3. Satu kawasan dengan Gedung Naskah Linggarjati

Sejarah Gedung Syahrir, Lokasi Rapat Naskah Perundingan Linggarjatipersetujuan gencatan senjata yang membuka peluang Perundingan Linggarjati. Soetan Sjahrir berada di kanan (dok. Netherlands Indies Government Information Service)

Gedung Syahrir yang jadi tempat tinggal untuk delegasi Indonesia, dan Gedung Perundingan Linggarjati sebagai tempat menginap delegasi Belanda masih sama-sama berada di satu kawasan. Penggunaan gedung tersebut ditujuankan agar Indonesia dan Belanda tidak terpisah terlalu jauh, sehingga kedua pihak bisa menyelesaikannya sesuai dengan rencana.

Perundingan Linggarjati adalah pertemuan antara Indonesia dan Belanda untuk membahas hal-hal penting terkait status kemerdekaan Indonesia. Berlangsung pada 11-12 November 1946 yang ditengahi oleh Lord Kilearn, penengah berkebangsaan Inggris.

Perundingan yang menghasilkan Perjanjian Linggarjati ditandatangani secara sah oleh Indonesia dan Belanda pada 25 Maret 1947. Adapun isi Perjanjian Linggarjati, yaitu:

  • Pengakuan status de facto Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera oleh Belanda;
  • Pembentukan negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat (RIS);
  • Pembentukan Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala negara;
  • Pembentukan RIS dan Uni Indonesia-Belanda sebelum 1 Januari 1949.

Gedung Syahrir di Kuningan turut menjadi saksi bisu perjuangan Indonesia dalam mengupayakan hak-hak kemerdekaan bangsa. Tertarik mengunjunginya?

Baca Juga: 5 Isi Pokok Perjanjian Giyanti yang Memecah Mataram Islam

Topik:

  • Langgeng Irma Salugiasih

Berita Terkini Lainnya