TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menteri Teten: Industri Tekstil di Jabar Terancam Berhenti Produksi

PHK massal hantui para pekerja

Dokumentasi KemenkopUKM

Bandung, IDN Times - Para pelaku usaha dan industri tekstil di Jawa Barat (Jabar) terancam berhenti berproduksi karena imbas praktik predatory pricing di platform social commerce. Praktik tersebut secara nyata mulai dirasakan khususnya oleh para pelaku usaha tekstil yang mengalami turunnya permintaan sehingga menekan omzet bahkan lebih lanjut berdampak pada penurunan produksi dan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi pegawai UMKM.

Di Kabupaten Bandung, Kecamatan Majalaya, misalnya, sebagai kawasan yang penduduknya menjalani usaha pertekstilan pada hari biasa ramai aktivitas produksi. Namun, sejak Lebaran hingga saat ini, penurunan produksi terus terjadi hingga beberapa pabrik tak mampu lagi bertahan untuk terus berproduksi.

"Kami bersama para pelaku industri pakaian jadi dan tekstil membahas tentang hal ini dan memang ada penurunan yang cukup drastis karena pelaku UMKM yang memproduksi pakaian muslim, kerudung, pakaian jadi yang dijual di pasar grosir seperti Tanah Abang, ITC Kebon Kelapa, Pasar Andir terpantau anjlok. Akibatnya permintaan terhadap pakaian, kain, dan tekstil menurun drastis," kata Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki melalui siaran pers dikutip, Senin (25/9/2023).

1. Marak impor produk tekstil yang harganya sangat murah

Dokumentasi KemenkopUKM

Teten pun melakukan diskusi dengan sejumlah pelaku usaha tekstil terdiri dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB), Paguyuban Textile Majalaya, dan KADIN Kabupaten Bandung.

Dari informasi yang dihimpun, para pelaku usaha mengaku produk mereka kalah bersaing bukan karena kualitas, tetapi soal harga yang tidak masuk harga pokok penjualan (HPP) pelaku UKM/IKM tekstil yang tidak mampu bersaing.

"Saya mendapat informasi ada indikasi marak impor pakaian jadi maupun produk tekstil yang tak terkendali. Harga yang murah ini adalah predatory pricing di platform online, memukul pedagang offline dan dari sektor produksi konveksi juga industri tekstil dibanjiri produk dari luar yang sangat murah," ungkap Teten.

2. Pengawasan produk impor kurang maksimal

Dokumentasi KemenkopUKM

Menurut MenKopUKM, hal itu terjadi juga karena didorong adanya aturan safe guard yang tidak berjalan dengan semestinya. Untuk itu, Pemerintah berupaya untuk membenahi dan berkoordinasi dengan Mensesneg untuk langkah ke depan.

"Sebab sekali lagi, kewenangan ini ada di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Presiden Jokowi pun sudah mengatakan secepatnya ada Undang-Undang yang mengaturnya. Presiden sudah menyampaikan akan meninjau kembali perdagangan online, yang dalam waktu dekat akan dibahas. Itu termasuk yang sudah kita usulkan Permendag Nomor 50 Tahun 2020 kan sudah selesai tinggal ditetapkan saja," kata Teten.

Tak hanya itu, MenKopUKM juga merasa perlu ada HPP khusus di produk tekstil. Sebab di China sendiri, mereka menerapkan model barang masuk di sana tidak boleh di bawah HPP.

"Kalau kita terapkan itu, bisa melindungi industri dalam negeri," ungkapnya.

Baca Juga: Batik Ecoprint, Harapan Industri Tekstil Ramah Lingkungan

Baca Juga: Nilai Transaksi di Pasar Tradisional Bandung Anjlok hingga 50 Persen 

Berita Terkini Lainnya