Anak Disleksia Butuh Sistem Pendidikan Khusus Dalam Keberhasilannya
Ada sekitar 10 persen anak di Indonesia masuk kategori ini
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Bandung, IDN Times - Memperingati hari anak nasional (HAN), Yayasan Lentera Insan Kreatif (Link Foundation) bekerjasama dengan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Bandung menggelar kegiatan dalam pengembangan anak disleksia. Sebab, saat ini pendidikan khusus untuk anak disleksia masih minim di Indonesia.
Menurut Laurentia Mira, S.H., Dipl. Montessori selaku The Chairperson of Yayasan Lentera Insan Kreatif, mengatakan bahwa saat ini anak disleksia masih kurang perhatian dari pemerintah. Padahal mereka pun membutuhkan pendampingan agar mampu menjadi anak unggul di kemudian hari.
Saat ini, sosialisasi dan edukasi mengenai kesulitan belajar spesifik atau disleksia untuk 225 anak binaan di LPKA Kelas II Bandung. Pemilihan tempat ini dikarenakan terdapat sebuah studi yang memperlihatkan bahwa 50 persen anak yang melakukan kejahatan dan berakhir di lapas masuk dalam kategori disleksia.
"Lewat 'Gerakan Bhinneka' kami punya tujuan untuk memberdayakan guru dan melalui pelatihan literasi untuk menguak potensi anak dengan kesulitan belajar sehingga pendidik mampu memahami perbedaan cara belajar anak dan bisa mendukung kematangan sosial emosional," kata Laurentia.
1. Mereka punya kelebihan yang bisa diasah
Dia menuturkan, ada data temuan United NoticeAbility Dyslexia Network, organisasi nirlaba asal Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa 50 persen penghuni Lembaga Pemasyarakatan di Amerika Serikat adalah anak dengan disleksia. Dengan studi ini tidak menutup kemungkinan hal demikian juga terjadi di belahan dunia yang lain, termasuk di Indonesia.
Dalam perkembangannya, salah satu hasil penelitian United NoticeAbility Dyslexia Network menunjukkan bahwa anak-anak yang kesulitan belajar spesifik itu banyak sekali yang hidupnya berakhir di balik jeruji.
Yang menarik, presentase anak dengan disleksia juga berbanding lurus dengan temuan data lain yang menyebutkan jika 60 persen CEO (Chief Executive Officer) dan para pengusaha yang berhasil di dunia juga merupakan anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik.
“Kalau kita bisa membantu mereka, maka mereka tidak akan menjadi ‘lost generation’. Kalau kita tidak membantu mereka maka ketika ledakan demografis Indonesia terjadi pada tahun 2045, kita akan sangat berpotensi memiliki sumber daya manusia yang gagal," kata dia.