TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Bagi Masyarakat Indonesia, Metaverse Hanya untuk Kaum Berduit

Penelitian ungkap metaverse masih asing untuk kita

Ilustrasi metaverse. (Unsplash.com/Vinicius "amnx" Amano)

Bandung, IDN Times – Perusahaan jaringan sosial raksasa, Facebook, bikin heboh masyarakat dunia pada 2021. Bagaimana tidak, mereka mengganti nama menjadi “Meta” seiring dengan komitmen pemiliknya, Mark Zuckenberg, yang bilang jika perusahaannya akan berkonsentrasi untuk mengembangkan metaverse.

Metaverse merupakan sebuah teknologi yang mengandalkan kemampuan Augmented Reality (AR), di mana membuka lebar potensi bahwa setiap manusia dapat terhubungan dengan manusia lainnya secara virtual.

Sederhananya, metaverse kerap diartikan sebagai simulasi dunia nyata dalam kehidupan manusia, yang diimplementasikan di dunia maya atau internet.

Pengumuman oleh Zuckenberg terhadap perusahaannya mengundang berbagai respons, mulai dari mereka yang mendukung langkahnya hingga yang mengkritik.

Seorang whistleblower bernama Frances Haugen mengkritik langkah tersebut, seraya mengatakan bahwa fokus Facebook pada Meta Platform malah akan menimbulkan kerugian.

 “Mereka belum benar-benar mempelajari pelajaran yang tepat,” kata mantan Manajer Produk Facebook ini, pada Vox’s Media Code Conference. Bagi Haugen, apa yang dilakukan Zuckenberg lewat Meta Platforms akan membahayakan kepentingan publik.

Di Indonesia sendiri, metaverse tak mengalami perkembangan yang signifikan seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Bagaimana sebenarnya perkembangan metaverse di Indonesia?

1. Penetrasi internet membaik, tapi metaverse tetaplah asing

Potongan penelitian IMR 2022 (IDN Times/Istimewa)

Menurut penelitian yang diungkapkan IMR 2022, metaverse sejauh ini tetaplah asing bagi masyarakat Indonesia, sekali pun saat ini tingkat penetrasi internet di Indonesia dapat dibilang tinggi.

Penelitian juga mengungkapkan bahwa memang sebagian besar masyarakat Indonesia telah mengandalkan ponsel pintar mereka untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, penggunaan perangkat yang lebih canggih dari itu, misalnya virtual reality (VR), masih terbatas.

Faktanya, menurut IMR 2022, metaverse lebih akrab bagi mereka yang berada di kelas ekonomi (socio-economic classes/SEC) atas, dibandingkan dengan SEC lainnya. Terdapat 36 persen SEC atas yang percaya bahwa metaverse dapat menggantikan interaksi dunia nyata.

Sisanya, yakni SEC menengah dan SEC rendah, masing-masing hanya memiliki kepercayaan sebesar 24 dan 17 persen.

2. Millennial menilai bahwa metaverse hanya untuk sekelompok orang saja

Unsplash

Di sisi lain, tidak sedikit millennial yang setuju bahwa metaverse sementara ini bersifat eksklusif, di mana hanya memiliki aksesibilitas yang baik bagi seseorang dengan kelas ekonomi atas.

Terdapat 28 persen SEC atas yang beranggapan bahwa metaverse memang tidak asing bagi mereka.

Sisanya, bagi SEC menengah dan rendah, masing-masing 25 persen dan 19 persen di antara mereka yang memiliki pandangan yang sama.

3. Ulasan sejarah metaverse

Pixabay

Istilah metaverse sendiri berasal dari novel fiksi ilmiah tahun 1992 Snow Crash, sebagai gabungan dari "meta" dan "verse" alias semesta. Kelahiran metaverse mendapat pengaruh besar dari konsep Web3, di mana menjadi iterasi internet yang terdesentralisasi.

Metaverse di antaranya digembar-gemborkan sebagai salah satu langkah tepat dalam mengamankan informasi pribadi, hingga menghindari kecanduan terhadap internet. Dua hal tersebut, seperti diketahui, merupakan tantangan yang dihadapi media sosial dan industri video game secara keseluruhan.

Baca Juga: Gen Z RI Tak Percaya Metaverse Bisa Gantikan Interaksi Dunia Nyata?

Baca Juga: Tak Dapat Restu Pusat, Pemprov Banten Batal Buka Sekolah Metaverse

Berita Terkini Lainnya