Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 Harvey Moeis bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (18/12/2024). (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Bandung, IDN Times - Penasihat hukum Harvey Moeis, Junaedi Saibih, mempertanyakan gugatan yang disampaikan jaksa penuntut umum terkait Laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) senilai Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, pada 2015–2022.

Pasalnya, menurut dia, angka kerugian negara yang diperoleh dari perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ini tidak pernah dijadikan bukti hukum dalam persidangan. Dengan pandangan itu, perhitungan tersebut dinilai lemah secara hukum.

“Jaksa penuntut umum yang menyatakan permasalahan terkait kewenangan BPKP dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara, sudah merupakan hal yang usang, membuat kami perlu untuk menyampaikan kembali apa yang ingin kami sampaikan,” ujar Junaedi Saibih, Sabtu (21/12/2024).

“Mungkin dengan bahasa yang jauh lebih sederhana sehingga pesan kami dapat dengan mudah diserap oleh jaksa penuntut umum,” katanya.

Dia menjelaskan, PKKN yang dibuat BPKP tidak pernah dijadikan bukti yang disampaikan kepada penasehat hukum. Bahkan, dari paparan ahli BPKP, ia menilai laporan PKKN tersebut tidak memenuhi syarat formil dan materiil.

“Dengan demikian, tanggapan jaksa penuntut umum dalam repliknya terkait dengan pembelaan kami atas laporan PKKN yang dibuat oleh BPKP, menandakan bahwa jaksa penuntut umum belum memahami intisari dari pembelaan kami,” ujar dia.

1. Unsur kerugian keuangan negara harus dipertimbangkan

ilustrasi menghitung anggaran keuangan (pexels.com/@karolina grabowska)

Junaedi mencatat, laporan PKKN yang dibuat oleh BPKP tidak pernah dijadikan bukti yang disampaikan kepada penasehat hukum dengan tidak diberikannya laporan PKKN, baik dalam persidangan ahli BPKP menyampaikan paparannya.

Selain itu, urusan penyerahan dokumen tuntutan membuat jaksa penuntut umum tidak memiliki minimal dua alat bukti yang sah untuk membuktikan adanya kerugian keuangan negara yang merupakan akibat dari perbuatan terdakwa.

Dengan demikian, lanjut Junaedi, seharusnya hakim tidak dapat mempertimbangkan terpenuhinya unsur kerugian keuangan negara yang didasarkan pada laporan PKKN, mengingat PKKN itu tidak pernah diberikan kepada penasehat hukum terdakwa.

“Majelis Hakim hanya dapat mempertimbangkan keterangan ahli BPKP saja, yang mana akan kami terangkan lebih lanjut adanya cacat formil dan materiil dari keterangan ahli,” ujar Junaedi.

2. Perhitungan kerugian keuangan negara tidak penuhi syarat?

Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 Harvey Moeis menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/12/2024). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Dari paparan ahli BPKP, terlihat bahwa proses dan hasil penghitungan kerugian keuangan negara tersebut tidak memenuhi syarat formil dan materiil. Maka itu, Junaedi beranggapan jika perolehan bukti yang digunakan oleh BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara tidak memenuhi unsur cukup, andal, relevan dan bermanfaat.

Lalu di sisi lain ahli BPKP tidak melakukan verifikasi atas dokumen dan informasi yang diterima, terutama keterangan-keterangan saksi dan terdakwa yang menurut keterangan ahli dimasukkan dalam laporan PKKN.

Menurut Junaedi, auditor BPKP seharusnya mengidentifikasi, mengkaji dan membandingkan semua bukti yang relevan dengan mengutamakan hakikat daripada bentuk (substance over form).

Ahli BPKP nyatanya menggunakan tenaga ahli yaitu Bambang Hero, yang laporan penghitungan kerugian lingkungannya telah selesai sebelum tanggal surat tugas penghitungan kerugian keuangan negara.

"Dengan begitu sangat diragukan adanya kesepahaman dan komunikasi antara auditor dengan tenaga ahli tersebut. Padahal tujuannya untuk meminimalkan kesalahpahaman yang dapat menyebabkan salah menafsirkan hasil pekerjaan dan/atau informasi dari tenaga ahli," tuturnya.

3. Hasil audit disebut tidak bisa dipertanggung-jawabkan

ilustrasi audit (Pixabay.com/audit-3929140_1280I)

Junaidi mencontohkan, fakta hitungan Rp271 triliun ternyata termasuk hitungan luasan IUP selain IUP PT Timah Tbk dan non IUP. Ahli BPKP menyimpulkan penyimpangan yang menjadi dasar untuk menghitung kerugian keuangan negara, hanya dengan menggunakan keterangan ahli yang didasarkan pada konstruksi perkara yang dibuat oleh penyidik.

Ia pun menegaskan jika ahli BPKP tidak melakukan verifikasi atas informasi tersebut, termasuk menggunakan ahli yang kompeten di bidang pertambangan.

“Proses dan hasil audit PKKN tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara profesional, karena tidak mempedomani Standar Audit Intern Pemerintah (SAIPI) dan Peraturan Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi No. 2 Tahun 2024,” ujar Junaedi.

Editorial Team