Self Healing Bareng Ruang Jeda, Cara Manis Perempuan Mawas Diri

- Ibu rumah tangga butuh ruang aman untuk self-healing dan emotional support.
- Perempuan butuh didengar dan memiliki waktu untuk diri sendiri di Ruang Jeda.
- Kasus IRT yang mengakhiri hidupnya menjadi pelajaran penting tentang kesehatan mental perempuan.
Kota Bandung, IDN Times - Di bawah naungan pepohonan, puluhan perempuan berhijab duduk melingkar di atas tikar. Udara sejuk dan cahaya matahari yang temaram menambah rasa teduh. Mereka hadir bukan sekadar berkumpul, tapi untuk berbagi pengalaman dan belajar pentingnya self-healing, proses menyembuhkan diri dari luka batin yang kerap terabaikan.
Gelak tawa dan isak tangis bergantian terdengar. Di tengah lingkaran, seorang perempuan berseragam putih lembut berbicara penuh empati. Di sekelilingnya, peserta saling menatap penuh dukungan, seakan setiap kisah adalah milik bersama.
1. Ibu rumah tangga butuh ruang aman

Ustadzah Desi Indrawati yang merupakan seorang terapis penyembuhan mental (emotional healing therapists) yang memandu sesi ini, menyebut kegiatan ini sebagai ikhtiar menghadirkan healing di setiap kajian.
"Aku ingin menciptakan ruang aman ketika di majelis ilmu. Kita ini selain hamba Allah, juga manusia biasa yang punya emosi. Setiap orang membawa permasalahannya masing-masing dari rumah," kata Desi kepada IDN Times, Minggu (21/9/2025).
Sejak 2017 ia telah mengisi berbagai kajian, dan sejak 2020 fokus mendampingi muslimah dalam self-healing. Menurutnya, perempuan kerap memikul amanah besar sehingga harus pandai meregulasi emosi.
"Kalau seorang ibu tak tahu cara merilis marah, sedih, atau kecewanya, itu berdampak pada anak-anaknya. Kesadaran kesehatan mental sangat penting agar kita bisa menjalani peran yang Allah titipkan," lanjutnya.
Ia menekankan, mendengar tanpa menghakimi adalah bentuk empati yang sederhana namun menyelamatkan. "Kadang kita tidak bisa memberi solusi, tapi setidaknya kita bisa menjadi pendengar," katanya.
2. Perempuan butuh didengar

Fitryas Rahayu Ramdani, selaku penyelenggara Ruang Jeda sekaligus pemilik brand busana muslimah Tubita mengatakan, nama 'jeda' dipilih sebagai simbol waktu singkat untuk berhenti dari rutinitas yang padat.
"Perempuan itu punya peran banyak, jadi anak, istri, ibu. Kita cuma butuh sedikit waktu untuk jadi diri sendiri," tuturnya.
Ia menyadari bahwa perempuan kerap tak punya ruang aman untuk bercerita. Karena itu, Ruang Jeda menghadirkan ahli agar curhat tak berhenti di keluhan.
"Selain curhat, peserta dapat bekal keilmuan supaya siap kembali ke rutinitas. Perempuan harus bahagia dulu sebelum membahagiakan orang lain," ujarnya.
Meski sempat khawatir acara berubah jadi 'adu nasib,' Fitryas terharu melihat peserta berani membuka diri.
"Ternyata perempuan itu sesederhana itu, cuma pengen dipeluk, didengar, dan nangis. Ada yang bilang ini pertama kali mereka bisa menangis lepas," ungkapnya.
Ia berharap Ruang Jeda bisa konsisten dan menyebar ke banyak kota, menjadi tempat perempuan menemukan kedamaian dan energi positif untuk kembali menjalankan peran sebagai anak, istri, maupun ibu.
Pertemuan sederhana di alam terbuka ini membuktikan bahwa self-healing bukan kemewahan, melainkan kebutuhan. Lewat ruang aman, perempuan belajar mendengar, menerima, dan menyembuhkan diri—agar bahagia yang mereka bawa pulang, menular pada keluarga dan lingkungan.
3. Kasus IRT akhiri hidup di Bandung jadi pelajaran

Kasus seorang ibu rumah tangga berinisial EN (34 tahun) yang mengakhiri hidupnya bersama dua orang anaknya berinisial AA (9 tahun) dan AAP (11 bulan) di Kabupaten Bandung pada beberapa waktu terakhir menjadi pelajaran bahwa kesehatan mental pada ibu rumah tangga penting untuk ditanganj dengan serius.
"Ternyata kesehatan mental itu atau sakit mental itu kalau tidak segera ditangani akan berdampak fatal. Kalau kita melihat pada kasus kemarin betapa seorang ibu itu selalu ingin yang terbaik untuk anaknya tapi ketika dihadapkan pada kondisi sosial atau dinamika sosial yang terjadi ternyata apa yang dirasakannya itu membahayang orang-orang di sekitarnya termasuk anaknya yang ikut dalam rasa sakitnya," jelas Ustadzah Desi.
"Jadi kalau aku mau berpendapat dari kasus yang kemarin yuk lebih peka lagi terhadap perasaan seseorang, berempagi lagi dengan apa yang orang rasakan. Saat kita tidak bisa membantu memberikan jalan keluar mungkin kita bisa membantu dengan memberikan pendengaran kita kepada mereka," tutupnya.