Mengenal 4 Tradisi Majalengka, Adat yang Masih Lestari 

Desa Pilangsari salah satu daerah yang mempertahankan budaya

Majalengka, IDN Times - Sejumlah daerah di wilayah Majalengka memiliki tradisi dan adat istiadat cukup banyak, terutama di bidang pertanian seperti Sedekah Bumi, Mapag Tamba, dan Mapag Sri. Sementara untuk membuat makanan tradisional ada Ngapem dan bubur sura atau suro. Berikut tradisi Majalengka yang masih ada hingga saat ini:

1. Mapag Tamba

Mengenal 4 Tradisi Majalengka, Adat yang Masih Lestari IDN Times/Andra Adyatama

Satu tradisi yang biasa dilakukan masyarakat adalah Mapag Tamba. Khususnya bagi masyarakat Desa Pilangsari, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka untuk mengawali musim tanam baru setelah beberapa minggu di tanam.

Warga melakukan tradisi ini dimulai dari kantor desa sekitar pukul 08.00WIB  dengan berjalan kaki memutari batas desa. Kegiatan itu berlangsung hingga menjelang tengah hari atau sekitar pukul 11.00 WIB.

Kepala Desa Pilangsari Didi Tarmadi menyebutkan, tradisi ini memang tidak familiar di dengar di sejumlah warga wilayah di Majalengka. Menurut dia, tradisi adat ini masih bertahan di Desa Pilangsari.

Tidak hanya tradisi Mapag Tamba, ada tradisi lain yang juga masih dijalankan masyarakat Desa Pilangsari seperti Mapag Sri atau munjungan, dan Sedekah Bumi.

"Ada 3 tradisi adat yang masih bertahan sampai sekarang. Sampai saat ini masyarakat masih menjalankan tradisi tersebut. Kegiatan ini sebagai bentuk mempertahankan nilai-nilai budaya daerah dan menjadi salah satu potensi wisata,” kata dia, Jumat (22/2).

2. Mapag Sri

Mengenal 4 Tradisi Majalengka, Adat yang Masih Lestari IDN Times/Andra Adyatama

Didi mengungkapkan, selain Mapag Tamba, ada tradisi budaya Mapag Sri. Kegiatan ini biasa dilakukan sebagai salah satu adat/budaya masyarakat Sunda dalam menyambut datangnya panen raya sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang Maha esa.

Di Desa Pilangsari, Kecamatan Jatitujuh, tradisi Mapag Sri masih dilestarikan. Selain dengan menggelar upacara adat, tradisi ini juga diisi dengan berbagai acara, salah satunya adalah pertunjukan wayang kulit. 

Dia menjelaskan, Mapag Sri memiliki arti bagi petani sebagai menjemput padi (panen). Dalam bahasa Sunda, Mapag berarti menjemput, sedangkan Sri dimaksudkan sebagai padi.

“Mapag Sri dilaksanakan dengan maksud sebagai ungkapan rasa syukur para petani kepada Tuhan Yang Maha Esa karena panen yang diharapkan telah tiba dengan hasil yang memuaskan,” ujarnya.

“Setiap desa mempunyai tradisi masing-masing. Demikian pula pelaksanaannya, masing-masing mempunyai tatacaranya sendiri. Waktu dan tempat pelaksanaannya juga sudah menjadi hasil musyawarah bersama,” tambah dia. 

Sementara untuk ritual Mapag Sri sendiri dimulai sejak pagi dengan ditandai seluruh petani berkumpul di kantor balai desa untuk menuju sawah. Kemudian, prosesi selanjutnya, pemotongan padi yang dilakukan pertama kali oleh sesepuh, dilanjutkan pejabat-pejabat terkait.

"Setelah proses pemotongan usai, padi digendong dan dibawa ke lumbung. Sebagian hasil panen akan dikeramatkan. Pada malam harinya ada pertunjukan wayang kulit untuk warga," ungkap dia.

3. Guar Bumi atau sedekah bumi

Mengenal 4 Tradisi Majalengka, Adat yang Masih Lestari IDN Times/Andra Adyatama

Setelah Mapang Sri, Didi menjelaskan tradisi adat lainnya yang masih tersisa di Desa Pilangsari. Tradisi itu adalah Guar Bumi, hajat bumi, atau di beberapa daerah disebut dengan sedekah bumi.

Tradisi itu merupakan tradisi turun-temurun dari masyarakat yang selalu dilaksanakan ketika memasuki awal musim tanam dan hampir sama dengan tradisi Mapag Tamba. Namun, dalam prosesi ini hanya diwakili 7 orang.

Menurut dia, tradisi tersebut telah dilakukan para leluhur atau nenek moyang untuk memohon kepada Allah SWT agar selalu diberikan kebaikan khususnya saat melakukan penanaman dan diberikan hasil yang melimpah saat panen.

"Biasanya tradisi Guar Bumi ini disimbolkan dengan proesi mencangkul yang dilakukan oleh tujuh orang tadi. Hal itu setelah lahan ata ladang petani tidak digunakan usai panen sebelumnya," ujarnya.

4. Mandi di sumur keramat saat bulan Mulud

Mengenal 4 Tradisi Majalengka, Adat yang Masih Lestari IDN Times/Andra Adyatama

Tradisi lain masyarakat Desa Pilangsari, Kabupaten Majalengka adalah aktivitas mandi di sumur keramat di akhir bulan Rabiul Awal (bulan hijriyah) atau bulan Mulud (bulan Jawa). Sumur yang dikeramatkan ini diyakni masyarakat desa sebagai sumur tertua bahkan sebelum desa tempat tingga mereka ada, sumur ini sudah lebih dulu ada.

Tradisi mandi itu akan dilakukan masyarakat dalam rangka membersihkan jiwa, sekaligus memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi mandi di bulan Maulid masih lestari. Biasanya warga menyerbu berkelompok untuk menuju sumur tua peninggalan embah buyut Dalem.

Kebudayaan lokal masyarakat di Desa Tilangsari ini menjadi destinasi wisata bagi sebagian wisatawan. Bahkan, banyak wisatawan dari luar daerah seperti Batam, Lampung, hingga Surabaya mengunjungi daerah ini untuk melihat dari dekat tradisi tersebut.

“Yang pernah kesini banyak juga dari luar daerah, yang paling jauh ada dari Batam, Lampung dan Surabaya,” ujar Muhammad, Kuncen Sumur Dalem.

Dia menyebutkan, sumur keramat masyarakat di sini juga menjadi warisan budaya yang sudah terdaftar di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Majalengka. Dari cerita turun-temurun orang tua, konon sumur ini dibuat oleh seorang demang (pemimpin) yang bernama Raden Kertanegara. Awalnya, Demang Kertanegara lari dari kejaran Belanda hingga singgah di suatu hutan yang sekarang diyakini sebagai lokasi sumur Dalem.

Baca Juga: 5 Wisata Paling Favorit di Majalengka, Gak Kalah dengan Amerika!

Topik:

  • Yogi Pasha
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya