Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App

Hitungan Luas Operasi PT Timah Dituding Keliru, Ini Alasannya

Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 Harvey Moeis menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/12/2024). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Bandung, IDN Times - Persidangan dugaan korupsi di PT Timah Tbk memunculkan sorotan tajam terhadap metode perhitungan kerugian lingkungan yang dilakukan pihak penuntut.

Penasehat hukum salah satu tersangka Harvey Moeis, Junaedi Saibih, menekankan pentingnya keterlibatan ahli yang relevan, seperti ahli geologi untuk menilai dampak tambang secara akurat, bukan ahli kehutanan. 

“Interpretasi citra satelit atas bukaan tambang seharusnya dilakukan oleh ahli geologi, bukan ahli kehutanan,” ujar Junaedi di persidangan duplik terdakwa Dirut PT RBT, Suparta, Jumat (20/12/2024).

Ia mempertanyakan akurasi perhitungan yang dilakukan oleh spesialis forensik api di Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Bambang Hero Saharjo, yang menyatakan total bukaan tambang pada 2019-2020 mencapai 170.363 hektare dengan kerugian lingkungan mencapai Rp171 triliun. 

Menurut Junaedi, data justru menunjukkan bahwa mayoritas area terbuka akibat aktivitas tambang PT Timah Tbk telah terjadi sebelum Januari 2015.

Pada periode 2015-2022, luasan bukaan hanya 5.658,30 hektare atau 10,86% dari total area. “Ini membantah tuduhan jaksa bahwa kegiatan tambang masif terjadi pada 2015-2022,” katanya. 

1. Ahli yang dilibatkan dinilai keliru

Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 Harvey Moeis (tengah) membacakan nota pembelaan pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (18/12/2024). (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Junaedi menilai, metode perhitungan kerugian yang dilakukan tidak relevan. Ia berpandangan ada kecenderungan mencampuradukkan keilmuan, yang dapat menimbulkan keraguan terhadap objektivitas proses hukum. 

“Menugaskan ahli kehutanan untuk menghitung kerugian di wilayah pertambangan adalah praktik yang mengabaikan prinsip keilmuan,” ujar Junaedi.

Ia menambahkan, perhitungan kerugian lingkungan sudah seharusnya menjadi domain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang memiliki tupoksi dalam studi kelayakan tambang.

Ahli lain, Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof. Sudarsono Soedomo yang memberikan keterangan di persidangan, menguatkan pandangan tersebut.

“Pemerintah sudah menghitung dampak tambang terhadap lingkungan dan ekonomi sebelum memberikan izin usaha. Hal ini dilakukan melalui cost-benefit analysis untuk memastikan dampak positif lebih besar daripada dampak negatif,” tutur Sudarsono. 

2. Penegakan hukum atau ambisi lain?

Junaedi juga mempertanyakan apakah langkah ini benar-benar untuk penegakan hukum atau justru didorong oleh ambisi tertentu.

“Jika aspek keilmuan diabaikan, proses hukum bisa terkesan hanya mengejar ambisi tertentu dan mencederai prinsip keilmuan yang diwariskan secara turun-temurun,” tutur Junaedi. 

3. Minta hakim lebih hati-hati

Ilustrasi Hukum Tata Negara. (IDN Times/Aditya Pratama)

Ia meminta majelis hakim untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan, mengingat perbedaan pendapat antara ahli geologi dan ahli kehutanan.

“Ini bukan sekadar soal angka, tetapi soal memastikan bahwa penilaian dilakukan oleh pihak yang kompeten di bidangnya,” tutur Junaedi. 

Sidang ini, kata Junaedi, akan menjadi ujian penting dalam memastikan bahwa penegakan hukum berjalan sesuai dengan prinsip keilmuan dan tidak menimbulkan keraguan publik.

Share
Editorial Team