Akademisi, Pengusaha, dan Pemerintah Harus Cari Solusi Industri TPT

Industri tekstil dalam negeri saat ini cukup terpuruk

Bandung, IDN Times - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia masih mengalami pasang surut pascapandemik COVID-19. Kondisi ini membuat banyak pabrik tekstil gulung tikar dan membuat ribuan pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman (Sritex), Iwan Setiawan Lukminto mengatakan, saat ini ada peningkatakan volume impor produk tekstil yang tidak sebanding dengan volume ekspor. Meski dalam perbandingan nilai ekspor TPT pada Januari hingga April 2023 mencapai 593.16 ton (data BPS), tapi nilai impornya juga tinggi yaitu 559.08 ton. Perbedaan volume tersebut membuat Indonesia seakan-akan surplus dalam industri TPT.

"Jangan senang dulu karena impor juga kenyataannya volume sangat besar, tidak sebanding dengan volume ekspor. Ini membuat turunnya utulisasi industri TPT nasional," kata Iwan di acara Indonesia Future Textile Partner Forum yang dimoderatori Elis Masitoh sebagai Ketua Dewan Pakar IKA ITT/STTT, melalui siaran pers dikutip Jumat, (15/9/2023).

Menurutnya, saat ini masih banyak produk impor masuk ke Indonesia khususnya kain. Karena jumlah kain yang dibuat pabrik dalam negeri masih kurang, industri garmen yang ada kemudian memilih membeli kain dari luar.

Kenaikan nilai impor itu juga salah satunya dikarenakan stok produk dari Tiongkok yang tidak bisa dijual ke Amerika Serikat karena perang dagang kedua negara membuat hasil industri dijual ke negara yang lebih mudah memasukan barang, dan salah satunya ke Indonesia dengan harga yang sangat murah.

1. Energi untuk industri dalam negeri terbilang mahal

Akademisi, Pengusaha, dan Pemerintah Harus Cari Solusi Industri TPT

Persoalan ini juga dirasakan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI). Ketua APSyFI Redma Gita menyebut, impor produk TPT yang harganya jauh lebih murah ketimbang dari dalam negeri salah satunya karena energi yang dipakai industri di Indonesia lebih mahal. Mulai dari kebijakan penggunaan gas, batu bara, hingga listrik harga untuk pabrik lebih mahal dibandingkan negara lain seperti Tiongkok, Vietnam, maupun India.

"Di hilir bahan baku mahal karena biaya energi mahal dibandingkan negara lain. Cost ini yang seharusnya bisa diatur oleh pemerintah, agar harga energi untuk industri dalam negeri itu bisa lebih murah," kata Redma

Kondisi ini jelas berdampak pada daya saing industri ketika harus bersaing dengan produk murah dari luar negeri. Meski banyak pabrik masih mampu berporduksi, tapi ada juga perusahaan mulai gulung tikar. Ketika dibiarkan kondisi seperti sekarang maka gelombang penutupan pabrik akan terus memakan korban.

2. Waspada gelombang besar PHK industri TPT

Akademisi, Pengusaha, dan Pemerintah Harus Cari Solusi Industri TPTIlustrasi PHK (IDN Times/Arief Rahmat)

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi ikut khawatir ketika pemerintah tidak serius menangani persoalan industri TPT. Sebab pabrik yang selama ini memproduksi barang tekstil menyerap tenaga kerja sangat besar di Indonesia.

Industri TPT merupakan penyerap tenaga kerja yang besar. Pada tahun 2022, industri TPT menyerap 3,8 juta orang dan berkontribusi sebesar 21,11% terhadap penyerapan tenaga kerja industri manufaktur. Hal ini didukung oleh beberapa kampus tekstil yang ada di Indonesia.

Dengan kondisi ini, KSPN sangat berharap ada kebijakan khusus agar produk impor TPT yang harganya sangat murah dibandingkan produk dari produsen dalam negeri bisa dikurangi. Sehingga barang TPT dari Indonesia bisa bertahap dan diserap masyarakat.

Sementara itu, perwakilan dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Geraldi mengatakan bahwa banyak produk impor yang masuk ke Indonesia tidak tercatat membuat pasar dalam negeri disesaki produk luar. API mendorong agar industri dalam negeri bisa menguasi pasar lokal terlebih dahulu karena pasarnya sangat luas dan banyak.

Ketimbang harus mencari pasar ekspor yang semakin sempit, pemenuhan produk lokal di Indonesia harusnya bisa lebih didahulukan.

"Ekspor penting, tapi kita harusnya bisa kuasai (pasar) dalam negeri dulu," kata dia.

3. Proteksi untuk kebaikan industri TPT harus diperkuat

Akademisi, Pengusaha, dan Pemerintah Harus Cari Solusi Industri TPTIDN Times/Debbie Sutrisno

Ketua IKA ITT-STTT-Politeknik STTT, Riady Madyadinata sepakat bahwa industri tekstil mengalami sejumlah tantangan baik pasar domestik maupun pasar ekspor. Importasi tekstil masih membanjiri pasar domestik. Di samping itu, kondisi perekonomian global masih terguncang akibat perang dagang Amerika-Tiongkok dan Rusia-Ukraina.

Kondisi ini membuat sejumlah negara memproteksi pasarnya untuk menjaga industrinya agar tetap tumbuh.
Masaah ini perlu diatasi secara komperhensif dan melibatkan sejumlah stakeholder untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Dia berharap forum diskusi dari para pemangku kebijakan dan pelaku industri bisa berguna untuk memperdalam masalah hingga ke akarnya.

"Hasil diskusi pun harus menjadi dasar atas kebijakan-kebijakan baru yang bisa memperbaiki kondisi industi TPT," kata dia

Dari diskusi para narasumber pun menyampaikan solusi dari rekomendasi yang bisa jadi pendorong kebijakan pemerintah ke depannya. Adapun rekomendasi sebagai berikut:

  • Kebijakan pemerintah yang fair sehingga dapat mendukung iklim industri TPT
  • Kebijakan dan pengawasan impor yang mendukung industri TPT
  •  Pengaturan pasar domestik
  •  Mengharmonisasi ekosistem industri tekstil nasional dengan menselaraskan 19 kementerian & lembaga dalam rangka ketahanan nasional
  •  Mendukung dan mewujudkan RUU Kedaulatan Sadang dan mengupayakan adanya wakil ITPT pada level pembuat kebijakan
  • Adanya kepemimpinan, kolaborasi dan sinergi antarpemangku kepentingan
  • · Optimalisasi digitalisasi pada untuk ITPT baik dalam memperkuat proses produksi dan pemasaran

Baca Juga: Undang-undang Sandang Diperlukan untuk Kebaikan Iklim Industri TPT

Baca Juga: Kualitas SDM Tekstil Harus Ditingkatkan untuk Kemajuan Industri TPT

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya