TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hindari Konflik, Ini Pola Asuh Anak yang Harus Dimengerti Orangtua

Ingat: beda fase, beda pola asuh

ilustrasi orang sendirian (Pexels.com/Pixabay)

Orangtua selalu punya naluri untuk melindungi dan menyayangi buah cintanya. Apapun mereka pertaruhkan demi kebahagiaan dan keselamatan anak di dunia dan akhirat. Maka tidak heran jika banyak orangtua yang bersikap berlebihan pada anaknya.

Tidak ada yang salah, namun tentunya menjadi orangtua itu tidak mudah. Ada banyak tantangan dalam menghadapi tingkah laku anak sejak bayi hingga dewasa. Fase daripada pola asuh anak harus dipahami agar tidak terjadi kesalahpahaman antara orangtua dan anak.

Yuk, kenali fase-fase dalam pola asuh anak berikut agar hubungan orang tua dan anak tetap tentram dan bahagia:

1. Fase bayi

unsplash.com/NeONBRAND

Psikolog Anak Universitas Islam Bandung (Unisba) Stephani Raihana mengatakan, setiap anak memiliki fase-fasenya yang pasti dilalui. Pertama fase bayi yakni usia 0-3 tahun, di mana si anak tidak terlalu ingat sehingga bergantung pada orang tuanya.

Di fase ini, pengasuhan belum terlalu banyak. Meskipun secara teoritis kedekatan sudah dibangun semasa bayi.

“Jadi kekonsistenan orangtua dalam memberi makan, memeluk, mengajak ngobrol, atau kelekatan antar orangtua (ibu dan ayah), dan ada anak itu penting di masa dia masih kecil,” katanya, Senin (1/2/2021).

2. Fase anak usia di atas 3 tahun

Pexels.com/Victoria Borodinova

Sementara pada anak usia di atas 3 tahun, orangtua bisa mengajarkan mereka soal nilai-nilai dalam kehidupan. Seperti bagaimana ia berperilaku, berbicara, kalimat yang disampaikan, dan sebagainya.

“Jadi secara teori orangtua itu figur otoritas, dia di atas dan anak di bawah. Sehingga hubungannya seperti vertikal. Orang tua benar dan anak belajar di bawah (harus menurut),” tutur dia. 

3. Fase dewasa

Pexels.com/Andrea Piacquadio

Menurutnya, orang tua hati-hati saat anak semakin besar (remaja dan dewasa). Pasalnya, kondisinya tidak benar-benar vertikal, melaikan mulai bergeser ke horizontal. Jika sudah miring atau horizontal, orangtua tidak bisa lagi 100 persen memberikan perintah atau berharap permintaanya akan dituruti.

“Makin anak besar makin berpikir, kritis, makin banyak belajar dari lingkungan, sekolah, dan lain-lain. Maka orangtua itu harus membuka dialog. Jadi makin anaknya besar, puber, dewasa, harus ada dialog,” ucapnya.

“Artinya orangtua dan anak itu hubungannya setara (sejajar). Itu yang sering kali orangtua salah kaprah dan berkonflik dengan anak,” katanya.

Berita Terkini Lainnya