Perjuangan Sani Fauzi, dari Kampung Sukabumi untuk Timnas Indonesia

Bandung, IDN Times - Sore hari di Sukabumi sekitar tahun 1993, seorang ibu mengajari anak yang berusia 5 tahun untuk bermain sepakbola. Sementara sang bapak, sibuk mencari uang dengan menjadi pekerja bangunan di rumah pamannya.
Bocah itu adalah Sani Rizki Fauzi, anak bungsu dari pasangan Edi Riadi dan Ida Kusumawati. Perjuangan Sani untuk bercita-cita menjadi pemain nasional telah terwujud. Kini, dari hasil kerja kerasnya itu Sani sudah sukses membawa nama Indonesia harum di Asia Tenggara
Sani menjadi salah satu pemain tim nasional (timnas) yang memperkuat Indonesia di Piala AFF U-22 2019. Indonesia sendiri akhirnya sukses menjadi juara di turnamen ini dengan mengandaskan perlawanan Thailand di final yang dihelat pada Selasa (26/2) lalu di Phnom Penh, Kamboja.
1. Bagaimana Sani mengawali kariernya?
Sang ibu merupakan mantan pesepakbola PS Sukabumi yang pernah bermain untuk Galanita, Liga Sepak Bola Perempuan di medio 1980-an. Begitu pula bapaknya, yang membela tim sepakbola Kabupaten Sukabumi.
Darah sepak bola, kata Sani, sebenarnya sudah mengaliri darah kakeknya, Damung Niharja, yang merupakan pesepakbola tim Sukabumi, Putra Sunda. “Jadi memang keluarga besar saya sangat mengharapkan keturunannya menjadi pesepakbola level nasional. Dari dulu memang belum ada yang berkarier sejauh itu,” ujar Sani, kepada IDN Times lewat pesan WhatsApp, pada Sabtu (16/2) lalu.
Sani seakan mengabulkan cita-cita keluarga besarnya setelah ia resmi teken kontrak dengan tim juara Liga 1 2017, Bhayangkara FC, pada Januari 2018. Namun, perjalanannya menjemput nasib baik tidak berjalan mudah.
Baca Juga: Begini Momen Pertemuan Timnas Indonesia U-22 dan Jokowi di Istana
2. Sulit untuk berlatih layak, Sani kecil alami hidup susah
Sudah sepantasnya Sani pesimistis menghadapi masa depan. Boro-boro bisa berlatih sepakbola dengan layak, untuk beli sepatu pun sang bapak mesti banting tulang. “Bapak pernah cerita kalau ia sempat dibawa ke rumah sakit karena menginjak paku di bangunan. Bapak memang kerja serabutan. Bapak harus bekerja keras untuk bisa belikan saya sepatu,” katanya.
Ia masih ingat sepatu pertama yang dibelikan sang bapak, mesti tak bisa menyebutkan mereknya. Lebih tepatnya, kata Sani, sepatu tersebut memang tidak bermerek. “Yang penting sepatunya punya pul saja,” tuturnya.
Tiga tahun Sani dilatih ibunya, dengan sokongan duit bapak. Pada usia 8 tahun, ia akhirnya dititipkan di tim sepakbola Cicurug, Sukabumi, bernama PSPB (Persatuan Sepakbola Putra Bangsa). Di sana Sani mengenal lebih dalam sepakbola.
Perkembangan Sani berada di tangan Acep Engkus, pelatih yang memang sering menangani pesepakbola usia dini. Ia dipasang sebagai penyerang dan jitu menambah ketajaman PSPB.
Sampai juga akhirnya ia berkarier di PSPB hingga KONI Cup se-Kabupaten Sukabumi. Singkat cerita, waktu melakoni laga persahabatan jelang KONI Cup, seorang pencari bakat Urakan FC asal Jakarta mendatanginya. “Beliau lagi cari pemain untuk memperkuat Urakan FC di Soeratin Cup 2014 di Jakarta. Saya adalah salah satu pemain yang dia inginkan,” ujar Sani.
Akhirnya, Sani diboyong ke Jakarta untuk membela Urakan FC di Soeratin Cup 2014. Ia menyumbang banyak gol, tercatat sebagai top skor, sekaligus membawa Urakan FC menjadi tim nomor wahid di Soeratin Cup 2014 babak kualifikasi DKI Jakarta. Walhasil, Sani berangkat ke Bandung untuk bertemu tim-tim juara kualifikasi provinsi lainnya.
Di Bandung, Urakan FC menelan kekalahan. Mereka tak lolos fase grup dan terpaksa pulang ke Jakarta tanpa torehan prestasi.
3. Gagal terbang ke Inggris
Tapi, minatnya terhadap sepa bola belum luntur sama sekali. Sani, yang waktu itu merupakan siswa kelas 1 SMA Cicurug, Sukabumi, sering berangkat ke Jakarta hanya untuk berlatih sepakbola, hingga waktunya Clear Cup 2015 tiba.
Dalam turnamen tersebut, pemain terbaik akan diajak berlatih sepak bola di Inggris. “Saya ikut turnamen itu, bersama banyak pesepakbola muda lainnya. Lagipula, siapa yang gak mau ke Inggris?” ujarnya. Sayang, nasib sial lagi-lagi menimpa Sani. Ia tidak terpilih sebagai pemain terbaik, dan harus mengubur mimpinya menginjakkan kaki di Eropa.
4. Dilirik SMA Ragunan
Namun, selalu ada nasib baik yang membuntuti ketidakberuntungan. Rasito, pelatih sepakbola SMA Negeri Olahraga Ragunan, mencium potensi yang dimiliki Sani.
“Saya lalu diminta membawa orang tua ke Ragunan. Kami naik bus ke Jakarta. Om Rasito kemudian meminta izin pada orang tua saya, dan saya tentu diizinkan karena itu memang yang kami harapkan,” ujarnya. Pada Juli 2015, Sani pun resmi melanjutkan pendidikan kelas 3 SMA di Ragunan.
“Ibu, bapak, dan abah (kakek) mengantarkan kepindahan saya ke Ragunan naik bus dengan menggembol tas. Hati saya nelangsa, karena pertama kalinya jauh dari orang tua. Untuk pertama kali juga orang kampung seperti saya ada di Jakarta,” tuturnya.
5. Masuk Polri sukses angkat martabat keluarga
Semangat Sani menggeluti sepakbola di Ragunan tak pernah kendur. Namun, waktu ia lulus SMA pada 2015, sepakbola Indonesia sedang kacau karena PSSI tengah dibekukan. Upayanya menjadi pesepakbola profesional pun mesti terhenti.
Suatu pagi, waktu ia berlatih di lapangan Ragunan, seorang anggota Polda Metro Jaya datang dengan kabar gembira. Ia tengah mencari atlet untuk menjadi anggota polisi.
Awalnya, Sani minder, mengingat badannya yang mungil, bentuk kaki tidak sempurna, dan gigi yang tak rapi, bakal menyulitkannya menjadi anggota kepolisan. Untungnya, waktu proses wawancara di Mabes Polri, polisi melihat keseriusan Sani. “Mereka tanya tujuan saya menjadi anggota. Lalu saya jawab, bahwa saya ingin mengangkat martabat keluarga,” katanya.
Setelah melewati berbagai proses pengujian, tiba juga waktu pengumuman hasil akhir. Sani, bersama kedua orang tuanya, berangkat pukul 06.00 pagi dari Sukabumi ke Mabes Polri, Jakarta, menggunakan bus APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway) dengan pikiran tak karuan.
Dari 1.500 calon siswa, hanya ada 753 orang terpilih. Nama Sani ada di posisi 46, dan nasib menjadi anggota kepolisan pun ada di depan mata. “Kami bertiga menangis selama perjalanan pulang ke Sukabumi di dalam bus APTB,” ujar Sani.
6. Menjadi pemain profesional
Tepat 7 Maret 2017, Sani resmi lulus dari pendidikan polisi dan ditunjuk untuk berdinas di Direktorat Samapta Bhayangkara (Dit Sabhara) Polda Metro Jaya. Belum lama ia berdinas, kepolisian membuka seleksi pemain Bhayangkara FC U-19.
Tanpa pikir panjang, Sani tentu mengikuti seleksi itu, meski hampir tujuh bulan lamanya ia tak bermain bola. “Tapi alhamdulillah saya lulus seleksi, bersama empat orang anggota Sabhara. Ternyata, skill saya masih ada,” ujarnya.
Pertandingan perdananya membela Bhayangkara FC U-19 ialah melawan PS TNI di Cilangkap, Jakarta Timur. Ia bermain sebagai penyerang tengah sekaligus kapten, dan membawa kemenangan bagi timnya.
Akhir 2017, Sani kemudian dihubungi Yeyen Tumena, General Manager Bhayangkara FC, dan diminta ikut berlatih bersama tim senior di Sawangan, Depok. Baru latihan tiga hari, Simon McMenemy, pelatih Bhayangkara FC kala itu, langsung kepincut dengannya.
“Saya diajak ngobrol bertiga dengan coach Simon dan Pak Marji (AKBP Sumarji, manajer Bhayangkara FC) di restoran lapangan Sawangan. Saya kaget ketika mereka menawari saya kontrak untuk menjadi pemain Bhayangkara FC,” tutur Sani. Kontraknya diteken pada 5 Januari 2018, dua hari sebelum ia berulang tahun yang ke-20.
Simon lantas menggeser posisi Sani menjadi gelandang. Di bawah pelatih asal Skotlandia itu, Sani mendapat porsi bermain lebih banyak daripada penggawa Bhayangkara FC lainnya. Untuk sekelas pemain 20 tahun, kepercayaan itu adalah sebuah kemewahan. Simon sendiri selalu percaya bahwa Sani adalah gelandang masa depan Indonesia.
7. Siap berbakti untuk timnas Indonesia
Prestasi tertinggi bagi seorang pesepakbola di Indonesia ialah berseragam timnas dan membela nama bangsa Indonesia di ajang internasional. Setidaknya, itu yang diakui Sani kepada IDN Times.
Indonesia memang banjir kemampuan gelandang. Selain Sani, ada sejumlah pesepakbola lain yang berhasil menjadi pemain timnas di antaranya Gian Zola dan Hanif Sjahbandi, misalnya. Dan impian itu akhirnya terwujud karena dia tak hanya jadi pemain timnas, namun juga salah satu pencetak gol di partai final Piala AFF U-22 yang ikut menentukan gelar sukses direngkuh oleh Garuda Muda.
Baca Juga: Cetak Gol di Final AFF, Sani Rizky Ternyata Anggota Polda Metro Jaya