Semua Saudaraku Suka Opor Ayam Tanpa Harus Merayakan Lebaran

Tentang opor ayam, sepak bola, dan keluarga multi-religi-ku

Lebaran selalu identik dengan kebahagiaan. Lebih daripada saling memaafkan, bagiku pribadi hari Lebaran adalah makan opor bersama saudara dari berbagai penjuru Indonesia, juga dari berbagai kepercayaan. Ya, kebahagiaan hari raya ini ternyata gak cuma bisa dinikmati oleh pemeluk Islam semata.

Jauh sebelum cerita ini dimulai, aku ingin berbagi sedikit latar belakang keluarga. Ibuku adalah seorang mualaf, dan mulai menjadi muslim sejak menikah dengan ayah pada 1979--yang memang sudah memeluk Islam dari lahir. Artinya, ketika semua orang dewasa di lingkungan keluarga sudah mulai menjalankan ibadah dengan aturan dan norma yang ada, ibu justru baru mulai mempelajarinya.

Secara harfiah, "mualaf" diartikan sebagai "orang yang dijinakkan hatinya agar memeluk agama Islam". Begitu pula dengan ibu, yang perlu untuk meng-install ulang nalar dan imannya, sebelum benar-benar mempelajari agama barunya.

Memori waktu kecilku masih merekam dengan jelas, bagaimana ketika Salat Tarawih tiba, ibu selalu membawa secarik kertas ke masjid yang sudah ditulisi bacaan salat. Aku kecil belum mengerti bahwa ketika itu ibu memang belum sepenuhnya bisa menghafal doa-doa untuk dibaca selama salat. Adegan itu menjadi pemandangan kontras yang tentu mudah sekali aku ingat sampai sekarang.

Ibu sangat serius mempelajari agama Islam, dan ketika tulisan ini dibuat, dia boleh dibilang sebagai sosok yang paling Islami di keluarga kami. Beberapa tahun lalu ayah menjual sebidang tanah dan bangunan miliknya, di mana sebagian hasil penjualannya dipakai ibu untuk terbang ke Tanag Suci; menjadi orang yang pertama menginjakkan kakinya di Makkah dan Madinah bagi keluarga kami.

Setiap kali aku bercerita tentang ibu dan kegigihannya dalam mempelajari agama Islam, teman selalu melempar tanya: bagaimana dengan keluarga besar dari pihak ibu? Apakah ada gesekan? Apakah ada ketidak-akuran di antara kami?

Merespons pertanyaan itu, aku selalu memulainya dengan tawa. Aku lantas menjawab, bahwa perbedaan dalam kepercayaan kami justru semakin mempererat simpul kekeluargaan. Bak dua kutub magnet yang berbeda tapi saling memberi tarikan, begitulah kami menjalin silaturahmi selama puluhan tahun.

Menjelang Hari Raya Idulfitri, saudaraku non-muslim-ku selalu mengirim pesan: apa menu lebaran kami kali ini? Tentu, saya jawab dengan ketupat, opor ayam, sambal goreng kentang, rendang, dan kerupuk, yang tak mungkin pernah absen dari meja makan selama lebaran. Terkadang saya sertakan foto untuk membalas pesan itu.

Semua Saudaraku Suka Opor Ayam Tanpa Harus Merayakan LebaranDokumen pribadi (Persiana Galih)

Saudaraku biasanya datang sekitar jam 12 siang di hari Lebaran, setelah kami benar-benar membereskan salat Idulfitri dan keliling kompleks untuk mengunjungi dan dikunjungi tetangga.

Kedatangan mereka di waktu siang disambut dengan opor ayam yang masih hangat meski dimasak tadi malam. Ogah buang-buang waktu, sesaat setelah kami saling memaafkan, opor ayam itu disantap dengan begitu nikmatnya--menjadi babak kedua makan opor ayam bagiku yang sudah menyantapnya tadi pagi. Di tengah kelezatan kuah opor, obrolan seringkali terjadi, semua pertanyaan mulai dari yang penting hingga yang "gak jelas" muncul ke permukaan.

Pernah dalam satu kesempatan lebaran, saudaraku tiba-tiba usul agar kami bermain sepak bola. Maklum, mungkin karena darah kami dari Maluku, tempat di mana lahirnya Sani Tawainella, Manahati Lestusen, hingga Ramdani Lestaluhu. Darah Ambon yang sama dengan yang mengalir di tubuh eks kapten tim nasional Belanda, Giovanni Van Bronckhorst.

Berbagai kenangan itu menjadi memori yang indah bagi saya. Betapa lebaran tak cuma urusan saling memaafkan, lebih daripada itu tentang tim siapa yang menang dalam sepak bola, dan siapa yang makan opor ayam terbanyak.

Sekali lagi, perbedaan bagi kami bukan masalah, karena opor ayam dan sepak bola adalah makna lain dari indahnya hari raya Lebaran.

Oh iya, jika kita punya fam Ambon yang sama, sampai jumpa di lebaran 2024. Silakan habiskan opor ayam di rumahku, maka tak akan aku sisakan kue jahe di hari Natalmu!

Ah, diversity is beautiful!

Semua Saudaraku Suka Opor Ayam Tanpa Harus Merayakan LebaranDokumen Pribadi (Persiana Galih)

Topik:

  • Galih Persiana

Berita Terkini Lainnya