Oleh : Saep Lukman
Dewan Pembina Lokatmala Foundation. Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Cianjur.
Di kaki Gunung Parnassus, kuil Delphi berdiri dalam keheningan abadi, dijaga oleh dewa Apollo, sang pemberi cahaya kebenaran. Para pemimpin kuno dan cendekiawan dari berbagai penjuru mendatangi orakel ini dengan hati berdebar, membawa harapan dan ketakutan mereka.
Delphi bukan hanya tempat bertanya masyarakat Yunani waktu itu tentang masa depan, tetapi juga cermin yang menelanjangi jiwa, menguak motif tersembunyi di balik retorika kepemimpinan. Dalam bisikan angin dan jejak langkah di marmer tua, terpantul pertanyaan abadi: Apa makna sebuah kepemimpinan itu? Apa sejatinya yang diinginkan rakyat, dan apakah pemimpin yang dipilih itu mampu menjadi pelayan yang baik bagi mereka?
Pilkada Cianjur 2024 jauh dari lereng Parnassus, tetapi sejak hiruk-pikuk suara dan sorak-sorai janji kampanye selama beberapa bulan terakhir dari penetapan kandidat oleh KPUD, tersirat harapan agar demokrasi kita lebih bermakna, tak hanya sekedar menjadi medan laga ambisi kosong belaka. Di tengah era di mana statistik dan algoritma menjadi alat utama memahami keinginan rakyat, masihkah kita mampu menjaga api moralitas yang dulu menyala di altar Delphi? Pertanyaan ini bukan sekadar retorika; namun bisakah menjadi panggilan bagi kita dan mereka yang memimpikan kehadiran pemimpin tidak hanya berdasarkan alat ukur kepala, tetapi juga melalui hati yang jernih.
Rasionalitas dan Moralitas
Zaman Athena kuno adalah masa di mana filsafat bertemu dengan kehidupan sehari-hari, dimana para pemikir seperti Aristoteles percaya bahwa politik adalah seni tertinggi yang harus melayani kebaikan bersama, eudaimonia. Di dalam pemahaman ini, rasionalitas adalah alat penting, tetapi ia hanya sekadar instrumen biasa bila tidak digerakkan oleh kebajikan. Aristoteles meyakini bahwa pemimpin yang baik haruslah orang yang memahami keutamaan moral, seseorang yang memiliki phronesis yakni kebijaksanaan praktis yang memungkinkan seorang pemimpin mampu membuat keputusan bijak di tengah dilema etis. Di era modern, John Rawls memperkuat prinsip ini dengan konsep justice as fairness, menegaskan bahwa keadilan harus menjadi inti dari setiap kebijakan dan tindakan politik.
Di Cianjur, kita menyaksikan bagaimana pemilu telah berevolusi menjadi medan diagnostik ilmiah. Survei, analitik, dan algoritma mendominasi wacana, membentuk strategi kampanye hingga ke detail terkecil. Pemimpin diukur berdasarkan seberapa baik mereka dapat membaca data dan menyesuaikan strategi mereka untuk memenangkan hati rakyat. Namun, seperti orakel di Delphi yang tidak hanya berbicara tentang masa depan tetapi juga mencerminkan nurani para pemimpin, Pilkada ini menuntut kita bertanya: apakah moralitas masih hidup di balik kerangka statistik itu?
Berbicara tentang moralitas politik, Max Weber, pernah memperkenalkan gagasan tentang etika tanggung jawab dan etika keyakinan. Baginya, seorang pemimpin sejati harus mampu memadukan kedua etika ini: keyakinan dalam prinsip moral yang tak tergoyahkan dan tanggung jawab untuk bertindak sesuai dengan kenyataan. Dalam Pilkada Cianjur 2024, di mana setiap pidato dirancang untuk menawan massa, apakah kita dapat melihat etika tersebut dalam diri calon-calon pemimpin? Atau apakah mereka hanya menjadi aktor di atas panggung, memainkan peran yang diatur oleh algoritma yang mengkalkulasi simpati?
Karena itu, jika Delphi adalah cermin yang menelanjangi jiwa, maka Pilkada seharusnya menjadi cermin modern bagi para kandidat dan pemilih. Kejujuran adalah dasar yang tak bisa ditawar. Hannah Arendt, dalam pemikirannya yang mendalam tentang politik dan etika, menegaskan , bahwa kebohongan dalam politik bukan hanya merusak kepercayaan publik, tetapi menghancurkan ruang publik itu sendiri. Ketika para kandidat di Cianjur berbicara tentang janji-janji mereka, publik harus bertanya: apakah kata-kata mereka dilandasi oleh kejujuran atau hanya sekadar taktik untuk meraih kekuasaan?
Empati menjadi elemen penting lain yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Empati bukan sekadar kemampuan merasakan penderitaan orang lain, tetapi keberanian untuk bertindak berdasarkan pemahaman itu. Nelson Mandela, seorang pemimpin legendaris yang dicintai dunia, sering berkata bahwa seorang pemimpin sejati adalah mereka yang berani berjalan di tengah rakyatnya dan merasakan apa yang mereka rasakan. Dalam Pilkada Cianjur, di tengah penghitungan suara dan strategi kampanye, apakah para kandidat memiliki keberanian untuk menjadi pemimpin yang memahami, merasakan, dan berani mengambil langkah yang sulit demi rakyat?
Seni yang Terlupakan
Diagnosa politik modern layaknya seni meramu obat bagi sakit sosial. Setiap janji kampanye, strategi kebijakan, hingga slogan, semuanya diuji secara ilmiah. Data demografis dan analisis sentimen publik mengarahkan langkah kandidat, membuat setiap pidato terdengar seperti formula yang disesuaikan untuk memenuhi algoritma. Namun, di sinilah ujian sebenarnya terletak: apakah di balik angka dan strategi itu ada jiwa yang peduli?
Seperti yang pernah disampaikan oleh Franz Magnis-Suseno, moralitas adalah fondasi yang harus menopang bangunan politik agar ia tidak runtuh di tengah gempa kepentingan. Ia menulis dengan penekanan bahwa demokrasi tanpa etika hanya akan menciptakan para pemimpin yang manipulatif dan publik yang apatis. Arendt, dengan kebijaksanaan yang menyejarah, juga menambahkan bahwa politik harus mengutamakan tindakan bersama yang mencerminkan nilai-nilai tertinggi umat manusia. Tanpa ini, politik hanya menjadi arena dimana retorika kosong menguasai dan pada akhirnya kebijakan kehilangan makna.
Di Cianjur, di mana masyarakat berharap akan terjadinya sebuah perubahan pasca pilkada, tentu tidak salah jika kemudian ada harapan bahwa calon pemimpin kedepantidak hanya menjadi ahli strategi, tetapi juga penjaga nilai-nilai luhur. Sebab pada akhirnya, kepemimpinan sejati diukur bukan semata dari seberapa tinggi dukungan suara, tetapi justru dari seberapa dalam kepercayaan dan ketulusan mereka terpatri dalam tindakan. Tanpa nilai-nilai ini, Pilkada hanyalah ritual kosong yang tak pernah mengubah hidup rakyat.
Kembali ke Warisan Delphi
Delphi mengajarkan bahwa pencarian akan kebenaran adalah proses introspektif yang mengungkapkan kekuatan dan kelemahan manusia. Para pemimpin Athena, yang datang ke Delphi, tahu bahwa mereka tidak hanya meminta restu, tetapi juga siap untuk diuji apakah mereka layak memimpin. Dalam Pilkada Cianjur 2024, semangat ini seharusnya dihidupkan kembali. Meskipun tidak ada orakel yang mengucapkan nasihat dalam bahasa metafora, publik adalah cermin modern yang berbicara melalui partisipasi mereka, suara mereka, dan tuntutan mereka akan keadilan.
Alexis de Tocqueville, dalam karyanya tentang demokrasi, memperingatkan bahwa demokrasi tanpa moralitas adalah seperti tubuh tanpa jiwa. Ia bisa bergerak, tetapi tidak memiliki arah atau tujuan yang luhur. Di era modern ini, di mana teknologi memungkinkan diagnosa sosial dengan presisi yang luar biasa, tantangannya bukan hanya bagaimana menggunakan alat-alat ini untuk membaca keinginan publik, tetapi bagaimana menyatukan pengetahuan tersebut dengan kebijakan yang bermoral dan empatik.
Ban Ki-moon, mantan Sekretaris Jenderal PBB, pernah berkata bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya tentang memenangkan pemilu, tetapi tentang menginspirasi perubahan yang lebih baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pernyataan ini membawa kita pada kesimpulan bahwa pemimpin masa kini harus mampu memadukan rasionalitas ilmiah dengan integritas moral. Seperti dalam tradisi Delphi, Pilkada Cianjur 2024 harus menjadi medan di mana para kandidat diuji tidak hanya dengan program yang mereka tawarkan, tetapi dengan integritas yang mereka bawa. Semoga kita tidak hanya menyaksikan persaingan taktik yang dingin dan janji-janji kosong, tetapi mampu mengawal lahirnya pemimpin yang berani memandang rakyatnya bukan sebagai angka, tetapi sebagai individu yang memiliki harapan dan hak untuk diperjuangkan. Pemimpin yang tahu bahwa di setiap keputusan mereka, ada nyawa yang dipertaruhkan, ada masa depan yang ditentukan. Mereka adalah pemimpin yang tahu bahwa kepemimpinan bukan soal mendominasi, tetapi soal melayani.
Pilkada Cianjur 2024 adalah kesempatan, sebuah momen sejarah untuk menciptakan jejak politik yang lebih bermakna. Seperti Delphi, yang menggugah hati dan pikiran para pemimpin kuno, kontestasi ini harus menggugah hati para kandidat dan rakyat. Di tengah perhitungan yang akurat, moralitas dan kebajikan harus kembali menjadi pusat. Tidak ada algoritma yang bisa menggantikan hati nurani; tidak ada strategi yang bisa melampaui kejujuran.
Kita berharap, semoga para pemimpin yang berdiri di panggung Pilkada Cianjur 2024 mampu memahami bahwa mereka sedang menjalani ujian yang lebih besar daripada sekadar memenangkan kontes. Ujian ini adalah tentang apakah mereka dapat menyeimbangkan rasionalitas ilmiah dengan nilai-nilai kemanusiaan yang abadi. Disamping mereka juga harus mampu meneladani para pemikir besar yang datang ke Delphi, yang mencari kebijaksanaan dan diingatkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan sekedar hak yang dipaksakan.
Bagi kita, pilkada ini harus menjadi momen di mana kepercayaan rakyat dibangun melalui kejujuran, transparansi, dan keterbukaan. Ketika masyarakat menyaksikan debat publik, mendengar pidato, dan membaca program kerja, mereka harus dapat merasakan bahwa para kandidat tidak hanya berbicara untuk menang, tetapi berbicara untuk melayani. Seperti yang diungkapkan oleh Václav Havel, mantan Presiden Ceko, bahwa kekuatan kepemimpinan sejati terletak pada kemampuan untuk berbicara dan bertindak sesuai dengan hati nurani. Dalam kata-kata Havel, politik tanpa moralitas hanya akan melahirkan keputusasaan dan ketidakpercayaan.
Jika Delphi adalah simbol dari penyingkapan diri dan pencarian kebijaksanaan, maka Pilkada Cianjur 2024 kiranya bisa menjadi cermin yang sama bagi kita semua. Sebuah cermin di mana setiap kandidat, tim kampanye, dan masyarakat luas dapat bercermin dan bertanya: Apakah kita, dalam proses ini, benar-benar mengejar yang terbaik bagi semua? Apakah kita siap menuntut lebih dari sekadar kemenangan, yakni kemenangan yang diiringi oleh kebajikan dan keadilan?
Para pemilih Cianjur, dengan segala pengetahuan dan kebijaksanaan yang kini mereka miliki, sudah semestinya memainkan peran penting dalam menghidupkan kembali nilai-nilai Delphi ini. Mereka bukan hanya pengamat pasif, tetapi penentu arah, yang memiliki hak dan kewajiban untuk menentukan bahwa politik tidak cukup hanya menjadi permainan strategi, melainkan dapat menjadi panggung bagi tindakan-tindakan yang berakar pada cinta sesama dan rasa hormat terhadap martabat manusia.
Terakhir, di tengah sorak-sorai pengumuman hasil pemilu nanti, semoga kita tidak hanya mendengar angka-angka yang dibacakan, tetapi melihat tanda bahwa sebuah harapan telah disemai — harapan akan politik yang melayani, kepemimpinan yang mendidik, dan perubahan yang melampaui retorika. Seperti Delphi yang selalu menjadi simbol cermin jiwa, Pilkada Cianjur 2024 juga tepatnya bisa menjadi jejak bagi moralitas dan rasionalitas yang berjalan secara beriringan, menciptakan dunia politik yang tidak hanya didiagnosa secara ilmiah, tetapi juga dipertahankan dalam kerangka menjunjung nurani.