Oleh: Eep S. Maqdir
(Ketua Indonesia Locavore Society)
Sejak dulu, Indonesia dikenal sebagai negeri agraris dan maritim. Daya tarik alamnya luar biasa, sampai bangsa-bangsa lain rela datang menjajah kita karena kesuburannya. Tak kurang dari Prof. Stephen Oppenheimer, peneliti dari Oxford University, menyebut bahwa leluhur Nusantara adalah bangsa agraris, bangsa yang mampu mengubah pola bertani dari berpindah ladang menjadi bercocok tanam, serta menjinakkan hewan liar menjadi ternak.
Negeri kita berada di iklim tropis yang memungkinkan tanah ditanami sepanjang tahun. Matahari bersinar terus, tanah tak pernah tertutup salju. Semua tanda menunjukkan: kita seharusnya menjadi bangsa yang makmur dari tanah sendiri.
Namun kenyataan hari ini berkata lain. Sebagian besar kebutuhan pangan Indonesia justru hasil impor dari negara lain. Kedelai? 90% impor, sehingga tahu dan tempe, ikon kuliner bangsa, sudah bukan sepenuhnya milik kita lagi. Tepung terigu? 100% impor, padahal bahan ini justru menjadi sumber berbagai masalah kesehatan. Bahkan bawang, singkong, buah-buahan, dan cabai pun sebagian besar datang dari luar negeri. Ironisnya, meski garis pantai kita begitu panjang, garam pun masih harus diimpor. Kita ibarat tikus mati di lumbung padi. Apakah lumbung padinya yang salah? Atau tikusnya yang tak tahu cara mengelola?
Atas alasan utama itulah, kami mendirikan ILS (Indonesia Locavore Society) di Kota Bandung mulai 1 November 2025 dengan formal legal di hadapan notaris. Ini menunjukkan, ILS tak sekedar prihatin soal kedaulatan pangan ini, tapi juga berbuat nyata dengan sungguh-sungguh.
Melalui ILS, kami akan berupaya membangun kesadaran manusianya itu sendiri. Dari sisi konsumen, manusia tentu akan mencari makanan yang enak, tak peduli soal nasionalisme. Dari sisi bisnis, sangat memungkinkan produk impor itu cuan-nya lebih besar.
Karena itu, gerakan ILS menitikberatkan kepada kampanye penggunaan bahan-bahan yang diproduksi lokal, bukan kepada jenis bahannya atau masakannya. Tidak mengapa kita menyukai bento, tapi bahannya lokal. Tidak mengapa kita menyukai ramen, tapi bahannya lokal.
Jadi gerakan Locavore itu fokus kepada penggunaan bahan lokal, bukan kepada jenis masakan, apalagi soal enak atau tidak. Contoh sederhananya, kita boleh konsumsi kue kurma, tapi kurmanya ditanam di Indonesia. Atau menikmati wagyu yang diproduksi dari peternakan sapi nasional.
Memang, sangat tidak mungkin semua olahan makanan 100% bahan-bahannya hasil lokal. Pasti di beberapa makanan akan tetap menggunakan bahan impor karena memang tidak bisa dihasilkan secara lokal.
Tapi satu hal yang pasti, gerakan konsumsi pangan lokal ini bisa sangat menghemat devisa negara, karena Indonesia termasuk pengimpor pangan terbesar di dunia. Belum ada negara modern yang secara total seluruh warganya hanya makan makanan hasil produksi dalam negerinya sendiri. Pun demikian, ada beberapa negara dengan tingkat nasionalisme pangan (food patriotism) yang sangat tinggi, di mana mayoritas masyarakatnya lebih memilih dan bangga mengonsumsi produk lokal, bahkan menjadikannya bagian dari identitas nasional.
