Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-11-09 at 17.07.50_b5079a00.jpg
IDN TimesIstimewa

Intinya sih...

  • Indonesia mengalami krisis kedaulatan pangan, sebagian besar kebutuhan pangan impor dari negara lain.

  • Gerakan ILS (Indonesia Locavore Society) didirikan untuk membangun kesadaran konsumen dan bisnis akan pentingnya penggunaan bahan lokal.

  • Nasionalisme melalui pangan dapat menjadi bentuk konkret dari cinta tanah air, membantu petani lokal, dan menegakkan kedaulatan pangan Indonesia.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Oleh: Eep S. Maqdir

(Ketua Indonesia Locavore Society)

Sejak dulu, Indonesia dikenal sebagai negeri agraris dan maritim. Daya tarik alamnya luar biasa, sampai bangsa-bangsa lain rela datang menjajah kita karena kesuburannya. Tak kurang dari Prof. Stephen Oppenheimer, peneliti dari Oxford University, menyebut bahwa leluhur Nusantara adalah bangsa agraris, bangsa yang mampu mengubah pola bertani dari berpindah ladang menjadi bercocok tanam, serta menjinakkan hewan liar menjadi ternak.

Negeri kita berada di iklim tropis yang memungkinkan tanah ditanami sepanjang tahun. Matahari bersinar terus, tanah tak pernah tertutup salju. Semua tanda menunjukkan: kita seharusnya menjadi bangsa yang makmur dari tanah sendiri.

Namun kenyataan hari ini berkata lain. Sebagian besar kebutuhan pangan Indonesia justru hasil impor dari negara lain. Kedelai? 90% impor, sehingga tahu dan tempe, ikon kuliner bangsa, sudah bukan sepenuhnya milik kita lagi. Tepung terigu? 100% impor, padahal bahan ini justru menjadi sumber berbagai masalah kesehatan. Bahkan bawang, singkong, buah-buahan, dan cabai pun sebagian besar datang dari luar negeri. Ironisnya, meski garis pantai kita begitu panjang, garam pun masih harus diimpor. Kita ibarat tikus mati di lumbung padi. Apakah lumbung padinya yang salah? Atau tikusnya yang tak tahu cara mengelola?

Atas alasan utama itulah, kami mendirikan ILS (Indonesia Locavore Society) di Kota Bandung mulai 1 November 2025 dengan formal legal di hadapan notaris. Ini menunjukkan, ILS tak sekedar prihatin soal kedaulatan pangan ini, tapi juga berbuat nyata dengan sungguh-sungguh. 

Melalui ILS, kami akan berupaya membangun kesadaran manusianya itu sendiri. Dari sisi konsumen, manusia tentu akan mencari makanan yang enak, tak peduli soal nasionalisme. Dari sisi bisnis, sangat memungkinkan produk impor itu cuan-nya lebih besar. 

Karena itu, gerakan ILS menitikberatkan kepada kampanye penggunaan bahan-bahan yang diproduksi lokal, bukan kepada jenis bahannya atau masakannya. Tidak mengapa kita menyukai bento, tapi bahannya lokal. Tidak mengapa kita menyukai ramen, tapi bahannya lokal. 

Jadi gerakan Locavore itu fokus kepada penggunaan bahan lokal, bukan kepada jenis masakan, apalagi soal enak atau tidak. Contoh sederhananya, kita boleh konsumsi kue kurma, tapi kurmanya ditanam di Indonesia. Atau menikmati wagyu yang diproduksi dari peternakan sapi nasional.

Memang, sangat tidak mungkin semua olahan makanan 100% bahan-bahannya hasil lokal. Pasti di beberapa makanan akan tetap menggunakan bahan impor karena memang tidak bisa dihasilkan secara lokal. 

Tapi satu hal yang pasti, gerakan konsumsi pangan lokal ini bisa sangat menghemat devisa negara, karena Indonesia termasuk pengimpor pangan terbesar di dunia. Belum ada negara modern yang secara total seluruh warganya hanya makan makanan hasil produksi dalam negerinya sendiri. Pun demikian, ada beberapa negara dengan tingkat nasionalisme pangan (food patriotism) yang sangat tinggi, di mana mayoritas masyarakatnya lebih memilih dan bangga mengonsumsi produk lokal, bahkan menjadikannya bagian dari identitas nasional.

Contoh Gerakan Pangan Lokal 

IDN Times/Istimewa

Contoh menarik soal itu dipraktekkan Jepang, yang punya konsep shokuiku (pendidikan pangan nasional), yang mengajarkan anak-anak sejak dini pentingnya makan makanan dari tanah air mereka sendiri. Masyarakatnya juga sangat sensitif terhadap asal-usul bahan pangan, restoran yang menggunakan bahan impor biasanya harus menjelaskan alasannya.

Kemudian Prancis (mereka sangat bangga dengan terroir/identitas geografis bahan pangan serta Label Appellation d’Origine Contrôlée yang melindungi produk khas seperti keju, anggur, dan roti),  Italia (tempat lahirnya gerakan slow food sebagai perlawanan terhadap makanan cepat saji dan globalisasi pangan), Korea Selatan (adanya gerakan Hansik globalization yang mempromosikan dan melindungi makanan Korea di dalam dan luar negeri).

Bahkan, negara dengan ekonomi di bawah Indonesia, Bhutan, juga punya kebijakan mendekati locavore state. Yakni sbagian besar bahan makanan berasal dari hasil tani lokal karena alasan ekologis, spiritual, dan kemandirian nasional.

Karenanya, nasionalisme melalui pangan bisa jadi bentuk modern dari cinta tanah air yang konkret —bukan sekedar dengan bendera atau slogan tapi lewat sendok dan piring! 

Mari bersama merubah sikap mental kita sekira masih lebih bangga mengonsumsi produk impor ketimbang hasil petani negeri. Ingatlah! Setiap rupiah yang kita keluarkan untuk membeli pangan impor berarti kita memperkaya importir, bukan petani.

Sementara setiap kali kita membeli produk pangan lokal, bisa jadi uang itu membantu petani menyekolahkan anaknya, membayar biaya rumah sakit, atau melunasi utang kepada tengkulak. Kita benar-benar membantu orang sekitar kita. 

Sudah saatnya kita bangkit bersama untuk menegakkan kembali kejayaan pertanian Indonesia. Petani tidak bisa sendiri. Pemerintah, lembaga, komunitas, dan seluruh rakyat Indonesia harus bersatu menegakkan kedaulatan pangan, agar apa yang tumbuh di tanah kita, kembali menghidupi mulut kita sendiri. Indonesia Berdaulat Pangan. (**)

Editorial Team