Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-12-17 at 13.06.01.jpg
IDN Times

Intinya sih...

  • Gagasan Transformasi Program Pembinaan Warga Binaan Menuju Kemandirian Ekonomi Inklusif menghadirkan nuansa yang berbeda.

  • Pendekatan pembinaan tidak lagi sekadar kewajiban administratif, melainkan proses menyiapkan masa depan warga binaan.

  • Koperasi sosial menjadi fondasi pembinaan, memungkinkan warga binaan belajar mengelola usaha secara kolektif dan siap terjun ke masyarakat setelah bebas.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Penulis: Noer Adhe Purnama

Asisten Muda Ombudsman RI 

Selama ini, wacana tentang lembaga pemasyarakatan hampir selalu bergerak di lingkaran yang sama. Penjara yang kelebihan kapasitas, pembinaan yang terasa monoton, dan warga binaan yang kembali menghadapi tembok stigma begitu mereka bebas. Cerita-cerita seperti ini sudah terlalu sering kita dengar. Karena itu, gagasan Transformasi Program Pembinaan Warga Binaan Menuju Kemandirian Ekonomi Inklusif menghadirkan nuansa yang berbeda. Ia menawarkan arah baru, lebih segar, dan terasa berani menabrak kebiasaan lama.

Yang menarik, gagasan ini tidak berangkat dari sikap menutup mata terhadap persoalan. Sebaliknya, ia justru berdiri di atas pengakuan jujur bahwa sistem pemasyarakatan sedang menghadapi tekanan serius. Kelebihan kapasitas yang sangat tinggi membuat pembinaan sering kali tereduksi menjadi rutinitas harian. Dalam kondisi seperti itu, kegiatan kerja dan pelatihan mudah kehilangan makna. Warga binaan memang sibuk, tetapi belum tentu siap menghadapi kehidupan setelah masa pidana selesai.

Di titik inilah proyek perubahan ini terasa relevan. Pembinaan tidak lagi dimaknai sekadar sebagai kewajiban administratif, melainkan sebagai proses menyiapkan masa depan. Warga binaan diperlakukan sebagai manusia yang kelak kembali ke masyarakat, bukan sekadar angka dalam sistem. Fokus pada kemandirian ekonomi menjadi pilihan yang masuk akal. Orang yang memiliki keterampilan, pengalaman kerja, dan penghasilan tentu lebih punya peluang untuk hidup mandiri dibanding mereka yang keluar tanpa bekal apa pun.

Salah satu langkah paling menonjol adalah menjadikan koperasi sosial sebagai fondasi pembinaan. Koperasi Merah Putih Warga Binaan bukan sekadar unit usaha, tetapi ruang belajar kehidupan nyata. Di sana, warga binaan tidak hanya bekerja, tetapi belajar mengelola usaha secara kolektif. Mereka mengenal proses produksi, pencatatan keuangan, pengambilan keputusan, hingga pemasaran. Pembinaan pun tidak berhenti di bengkel atau ruang pelatihan, melainkan tersambung langsung dengan dunia usaha yang sesungguhnya.

Pendekatan ini terasa membumi. Warga binaan tidak hanya diajari cara membuat produk, tetapi juga memahami bagaimana produk itu bisa diterima pasar. Standar kualitas, sertifikasi, dan kepercayaan konsumen menjadi bagian dari proses belajar. Dengan cara ini, keterampilan yang diperoleh tidak berhenti sebagai teori, tetapi benar-benar siap dipakai ketika mereka kembali ke masyarakat.

Hal lain yang patut diapresiasi adalah semangat kolaborasi yang kuat. Pembinaan tidak lagi berjalan sendirian di balik tembok lapas. Pemerintah daerah, dunia usaha, perguruan tinggi, hingga skema CSR dilibatkan sejak awal. Dengan jejaring seperti ini, produk warga binaan memiliki peluang nyata untuk masuk ke rantai ekonomi lokal dan nasional. Pembinaan pun berubah dari aktivitas tertutup menjadi bagian dari ekosistem ekonomi yang lebih luas dan inklusif.

 

Dok IDN Times

Perubahan cara pandang juga terlihat dari strategi komunikasinya. Melalui narasi “Dari Balik Jeruji untuk Negeri”, warga binaan tidak lagi diposisikan sebagai beban sosial. Mereka ditampilkan sebagai individu produktif yang mampu memberi kontribusi. Produk yang dihasilkan membawa pesan sosial, bukan sekadar label asal-usul. Pendekatan ini penting, karena stigma sering kali menjadi penghalang terbesar bagi proses reintegrasi sosial.

Dari sisi hasil, proyek ini menunjukkan capaian yang tidak bisa dianggap remeh. Di lapas percontohan, koperasi mampu mencatat omzet yang signifikan. Negara memperoleh penerimaan, sementara warga binaan memiliki tabungan produktif sebagai bekal awal setelah bebas. Ini memberi sinyal kuat bahwa pembinaan tidak harus menjadi beban anggaran, melainkan bisa menjadi investasi sosial yang menghasilkan manfaat nyata.

Lebih jauh, pendekatan ini menyentuh akar persoalan residivisme. Banyak orang kembali melakukan pelanggaran bukan semata karena niat buruk, tetapi karena tidak memiliki pilihan hidup yang layak setelah keluar dari penjara. Dengan keterampilan, pengalaman kerja, dan modal awal, peluang untuk kembali terjerumus bisa ditekan. Dalam jangka panjang, ini berarti penghematan biaya sosial dan pidana yang tidak kecil.

Yang juga menarik, proyek ini tidak berdiri sendiri tanpa arah besar. Ia diselaraskan dengan agenda pembangunan nasional dan global, mulai dari peningkatan kualitas sumber daya manusia hingga pengurangan ketimpangan. Dengan begitu, pembinaan warga binaan tidak lagi dipandang sebagai urusan pinggiran, melainkan bagian dari strategi pembangunan yang lebih luas dan berkelanjutan.

Tentu saja, jalan ke depan tidak tanpa tantangan. Menjaga konsistensi pelaksanaan, memastikan kualitas produk tetap terjaga, serta memperluas replikasi ke lapas lain membutuhkan komitmen jangka panjang. Namun, fondasi yang disiapkan cukup kokoh. Tata kelola formal, SOP yang jelas, dan kelembagaan koperasi yang berbadan hukum memberi harapan bahwa program ini tidak mudah terhenti di tengah jalan.

Pada akhirnya, yang paling terasa dari proyek perubahan ini adalah kembalinya dimensi kemanusiaan dalam sistem pemasyarakatan. Pembinaan tidak lagi dipahami sebagai formalitas, tetapi sebagai ikhtiar memulihkan martabat manusia. Warga binaan diberi ruang untuk belajar, bekerja, dan menata harapan. Negara hadir bukan hanya sebagai penghukum, tetapi sebagai pihak yang menyiapkan jalan pulang.

Terobosan dari balik jeruji ini layak mendapat perhatian dan dukungan luas. Jika dijalankan secara konsisten dan diperluas dengan cermat, ia bisa menjadi wajah baru pemasyarakatan Indonesia. Sebuah wajah yang menunjukkan bahwa perubahan selalu mungkin, bahkan dari tempat yang selama ini dianggap sebagai akhir dari segalanya.***

 

Editorial Team