Rasa percaya diri Niko dapat mendulang penghasilan yang berlipat ganda itu punah sudah di malam takbiran Lebaran 2025. Keyakinan bahwa produk pakaian yang ia desain, produksi, dan jual secara independen tak laris sesuai harapan.
Sudah jauh-jauh hari Niko menunggu-nunggu libur Lebaran tiba, waktu di mana biasanya daya beli masyarakat sedang baik-baiknya dan berdampak sehat bagi omzet usaha local brand seperti yang Niko lakoni sekarang.
“Tapi lebaran kali ini beda,” kata Niko, kepada saya di sela-sela agenda nongkrong kami selepas berbuka puasa, beberapa hari sebelum Lebaran tiba.
Niko yang saya kenal sejak belasan tahun lalu itu, malam ini tampak sedikit murung. Tak biasanya ia membiarkan V60 panas itu menjadi dingin karena disulap udara Bandung selepas hujan. Tindakannya bertolak belakang dengan prinsipnya yang pernah bilang bahwa cara menikmati kopi paling baik ialah dengan meneguknya ketika sedang hangat-hangatnya.
Begitu pula aku, yang tak biasa dalam situasi serius dengan Niko. Aku hanya terdiam, mulai membakar rokok, dan membiarkan waktu yang membujuk Niko untuk segera bercerita tentang kondisi usaha fashion-nya sekarang.
Menurut Niko, ia telah salah strategi dalam menghadapi Lebaran 2025. Salah satu kesalahannya ialah dalam memasang harga diskon yang kurang murah. Dalam pandangannya, pemberian diskon sebesar-besarnya adalah kunci bertahan hidup sebuah local brand, sebelum disantap habis kejinya persaingan bisnis di Indonesia.
“Sementara diskon gue cuma 30 persen, pasti kurang besar dan menarik minat pasar,” ujar Niko.
“Diskon 30 persen? Harga jual kaos lu aja udah Rp180 ribu, dan kena diskon 30 persen lagi?” tanya saya yang baru berani merespons cerita Niko. Saya yang agak cermat dalam urusan perhitungan keuangan pun berhenti sejenak, menghitung berapa harga jual Niko untuk Lebaran 2025.
“Dan akhirnya lu jual kaos lu Rp126 ribu?” saya melanjutkan.
“Ya, dan itu pun gak laku. Dari 300 kaos yang gue siapkan sebagai stok, cuma 18 biji yang laku,” tutur Niko, menjelaskan dengan sedikit emosi. “Menurut lu, apa yang salah?” tanya Niko lagi.
Tentu saya tidak lebih pintar daripada Niko, tapi saya yakin ia hanya perlu jawaban dari mulut saya yang terkenal asal nyebut di tongkrongan.
“Produk lu gak ada yang salah, desain lu oke, cutting yang lu jiplak dari Uniqlo pun gak ada masalah dan pasti nyaman. Cotton yang lu pilih juga oke, dan hasil print-nya pun cocok dengan tren sekarang. Ditambah lagi lu tawarin diskon gede. Tapi kalau emang lu cari orang yang bisa disalahin, sebenarnya ada orang lain yang bisa kita salahkan bareng-bareng, Ko, hehe,” ujar saya.
“Siapa?” kata Niko, yang penasaran sampai benar-benar lupa soal kopinya yang keburu dingin dan tidak lagi menggoda.
“Pemerintah, ko, pemerintah negara kita.”
“....”
“Udah, lu minum dulu kopi lu, sebelum gue jelasin daya beli masyarakat yang lagi lesu banget kayak muka lu sekarang. Jelek. Lesu banget akibat banyak kebijakan ekonomi yang gak berpihak buat pengusaha kelas lu, udah dipaksa harus saingan sama produk impor murah yang gak bisa lu kejar, ditambah lagi antrean kebijakan ekonomi lain yang sepertinya gak merhatiin kepentingan lu sebagai pengusaha yang lagi ngerintis.”
Niko pun menyeruput kopinya yang sudah pasti tak lagi nikmat.
“Kopi gak enak itu biar gue yang bayar, Ko, tadi pagi gue dapet transferan THR dari IDN,” kata saya, sambil melempar puntung rokok ke kerikil coffee shop dan mematikannya dengan sepatu baru hasil diskon buy one get one.
Niko yang sedang tak beruntung pun tak bisa menolak. Selama beberapa jam nongkrong, baru kali ini saya lihat dia tersenyum setelah kopi itu saya yang bayar.