Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
20250707_091935.jpg
Pemerintah Kabupaten Cirebon kembali melakukan penataan kawasan Batik Trusmi, Kecamatan Weru, dengan menertibkan pedagang kaki lima (PKL) dan parkir liar

Intinya sih...

  • Pemerintah Kabupaten Cirebon menertibkan PKL dan parkir liar di kawasan Batik Trusmi sebagai langkah awal revitalisasi.

  • Trusmi akan ditata menjadi destinasi wisata budaya modern dengan sentuhan lokal khas Cirebon, termasuk pembangunan jalur pedestrian dan pengelolaan parkir terpusat.

  • Identitas budaya Cirebon yang kaya harus tercermin dalam penataan kawasan berbasis arsitektur lokal, serta mengangkat warisan sejarah dan kuliner khas Cirebon.

Cirebon, IDN Times- Pemerintah Kabupaten Cirebon kembali melakukan penataan kawasan Batik Trusmi, Kecamatan Weru, dengan menertibkan pedagang kaki lima (PKL) dan parkir liar.

Penertiban ini merupakan langkah awal dari rencana besar menjadikan Trusmi sebagai kawasan wisata budaya setara Malioboro di Yogyakarta.

1. Petugas gabungan tertibkan lapak dan kendaraan

Trotoar di Kawasan Batik Trusmi, Kabupaten Cirebon

Pantauan di lapangan, Senin (7/7/2025), menunjukkan puluhan petugas dari Satpol PP Kabupaten Cirebon, Dinas Perhubungan, TNI/Polri, serta aparat kecamatan menyisir sepanjang jalur utama kawasan Batik Trusmi.

Penertiban dimulai dari pintu masuk kawasan tersebut. Petugas gabungan tertibkan lapak dan kendaraanBeberapa PKL yang berjualan di trotoar terlihat terburu-buru mengemasi dagangan mereka saat petugas datang.

Lapak-lapak kayu dan tenda terpal dibongkar menggunakan alat manual, sementara sejumlah kendaraan roda empat maupun roda dua yang parkir sembarangan pun dipindahkan.

“Kami menyisir semua titik rawan pelanggaran di kawasan Trusmi, khususnya yang mengganggu akses pedestrian dan lalu lintas,” ujar Wakil Bupati Cirebon, Agus Kurniawan Budiman, Senin (7/7/2025).

2. Trusmi akan jadi Malioboronya Cirebon

Pemerintah Kabupaten Cirebon kembali melakukan penataan kawasan Batik Trusmi, Kecamatan Weru, dengan menertibkan pedagang kaki lima (PKL) dan parkir liar.

Agus mengatakan, penertiban ini adalah bagian dari tahapan revitalisasi kawasan Batik Trusmi. Menurutnya, kawasan ini akan ditata menjadi destinasi wisata budaya modern dengan sentuhan lokal khas Cirebon.

“Trusmi adalah ikon batik Jawa Barat. Sudah saatnya kawasan ini naik kelas. Kami akan jadikan Trusmi sebagai Malioboronya Cirebon, tempat yang ramah pejalan kaki, nyaman bagi wisatawan, dan tertib bagi pelaku usaha,” ujar Agus.

Agus menambahkan, penataan akan meliputi pembangunan jalur pedestrian, pengelolaan parkir terpusat, pemasangan lampu tematik, serta penataan fasad toko batik agar lebih seragam dan estetik.

“Penataan ini bukan hanya proyek infrastruktur, tapi juga upaya membangun peradaban kawasan wisata. Semua stakeholder dilibatkan, dan kami lakukan bertahap dengan pendekatan persuasif,” tambahnya.

Sejumlah pedagang yang terdampak menyambut penataan ini dengan beragam reaksi. Sebagian mendukung, namun tak sedikit pula yang mengeluhkan minimnya sosialisasi dan belum jelasnya lokasi relokasi.

“Saya tidak menolak ditertibkan. Tapi sampai sekarang belum ada kejelasan saya akan jualan di mana. Kami cuma minta tempat yang layak,” ujar Kholifah, PKL yang berjualan di pinggir trotoar.

Kholifah mengaku, mendukung rencana menjadikan Trusmi sebagai kawasan wisata seperti Malioboro. Namun ia berharap pemerintah tidak mengabaikan nasib para pedagang kecil.

3. Trusmi harus bangkit dengan ciri khas lokal

Gani, Penjual batik di Sentra Batik Trusmi, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (IDN Times/Hakim Baihaqi)

Trusmi, yang terdiri dari dua desa, yaitu Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon di merupakan pusat batik Cirebon yang sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu.

Namun ironisnya, kondisi fisiknya jauh dari bayangan kawasan budaya unggulan. Trotoar tergusur lapak, kabel-kabel bergelantungan seperti akar tua, dan jalanan rusak menyulitkan wisatawan menikmati keunikan kawasan ini.

Hampir setiap rumah di Trusmi berfungsi ganda sebagai tempat produksi atau galeri batik. Namun potensi ini seolah terabaikan oleh tata kelola ruang yang semrawut dan tidak ramah pejalan kaki.

Banyak pengunjung mengeluhkan pengalaman yang tidak nyaman saat mengunjungi sentra batik yang seharusnya bisa menjadi ikon budaya dan ekonomi Cirebon. "Kalau terus begini, orang datang bukan karena nyaman, tapi hanya karena butuh batik. Padahal bisa lebih dari itu," ucap Adinda Aulia.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyampaikan, identitas budaya Cirebon terlalu kaya untuk dibiarkan tenggelam dalam kesemrawutan. Dalam kunjungannya, ia menyoroti pentingnya penataan kawasan berbasis arsitektur khas Kacirebonan.

"Trusmi harus mencerminkan karakter Cirebon, baik dari tampilan fisik, kuliner, hingga atmosfer sosialnya. Kita perlu perda yang mengatur arsitektur lokal, bukan sekadar mengejar modernitas kosong," tegas Dedi.

Ia juga menekankan, kawasan ini tidak hanya sekadar pasar batik, tetapi juga tapak sejarah yang memiliki nilai spiritual.

Warisan Ki Gede Trusmi, ulama sekaligus pembatik harus diangkat dalam bentuk tata ruang dan atmosfer kota yang menghormati akar budaya tersebut.

Tak hanya itu, Dedi menyarankan penataan ulang becak tradisional agar tampil sebagai ikon visual, serta penertiban zona kuliner agar penyajian makanan khas Cirebon seperti empal gentong dan nasi lengko tampil menarik dan konsisten secara estetika.

Editorial Team