Gani, Penjual batik di Sentra Batik Trusmi, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (IDN Times/Hakim Baihaqi)
Trusmi, yang terdiri dari dua desa, yaitu Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon di merupakan pusat batik Cirebon yang sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu.
Namun ironisnya, kondisi fisiknya jauh dari bayangan kawasan budaya unggulan. Trotoar tergusur lapak, kabel-kabel bergelantungan seperti akar tua, dan jalanan rusak menyulitkan wisatawan menikmati keunikan kawasan ini.
Hampir setiap rumah di Trusmi berfungsi ganda sebagai tempat produksi atau galeri batik. Namun potensi ini seolah terabaikan oleh tata kelola ruang yang semrawut dan tidak ramah pejalan kaki.
Banyak pengunjung mengeluhkan pengalaman yang tidak nyaman saat mengunjungi sentra batik yang seharusnya bisa menjadi ikon budaya dan ekonomi Cirebon. "Kalau terus begini, orang datang bukan karena nyaman, tapi hanya karena butuh batik. Padahal bisa lebih dari itu," ucap Adinda Aulia.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyampaikan, identitas budaya Cirebon terlalu kaya untuk dibiarkan tenggelam dalam kesemrawutan. Dalam kunjungannya, ia menyoroti pentingnya penataan kawasan berbasis arsitektur khas Kacirebonan.
"Trusmi harus mencerminkan karakter Cirebon, baik dari tampilan fisik, kuliner, hingga atmosfer sosialnya. Kita perlu perda yang mengatur arsitektur lokal, bukan sekadar mengejar modernitas kosong," tegas Dedi.
Ia juga menekankan, kawasan ini tidak hanya sekadar pasar batik, tetapi juga tapak sejarah yang memiliki nilai spiritual.
Warisan Ki Gede Trusmi, ulama sekaligus pembatik harus diangkat dalam bentuk tata ruang dan atmosfer kota yang menghormati akar budaya tersebut.
Tak hanya itu, Dedi menyarankan penataan ulang becak tradisional agar tampil sebagai ikon visual, serta penertiban zona kuliner agar penyajian makanan khas Cirebon seperti empal gentong dan nasi lengko tampil menarik dan konsisten secara estetika.