(IDN Times/Azzis Zulkhairil)
Sementara Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat Roy Jinto sebelumnya mempertanyakan mengenai kenaikan UMP 6,5 persen ini. Ia mempertanyakan dasar perhitungan dari kenaikan UMP tersebut.
"Sebesar 6,5 persen itu rumusnya dari mana gitu, apakah itu presentasi pertumbuhan ekonomi atau hanya pertumbuhan ekonomi? Kami belum tahu karena Pak Presiden kan mengumumkan, hanya angka doang adalah 6,5 persen," ujar Roy saat dikonfirmasi, Sabtu (30/11/2024).
Selain itu, Roy juga mempertanyakan apakah kenaikan UMP 6,5 persen pada 2025 ini dalam batas maksimal atau minimal, dan hal itu seharusnya sudah ada dalam peraturan Kementerian Ketenagakerjaan untuk kemudian diserahkan ke seluruh provinsi.
"Kalau 6,5 minimalnya berarti tergantung daerah boleh dong 7 persen 8 persen sampai 10 persen. Tapi kalau angka 6,5 itu adalah angka maksimal, kenaikan upah minimum berarti dimungkinkan di daerah-daerah itu nanti akan ada di bawah itu," ujarnya.
Roy kemudian menyinggung adanya peraturan yang dulu pernah diterapkan Kementerian Ketenagakerjaan dalam menetapkan UMP tepatnya di 2022, menaikkan upah minimum maksimal 10 persen. Namun, pada kenyataannya tidak ada provinsi yang menetapkan di atas aturan tersebut.
"Ternyata bukan 10 persen hasilnya, tetapi ada yang 6, 7, 8 persen dan gak ada pun waktu itu yang berani menerapkan 10 persen. Makanya ini juga perlu dipelajari, apakah nantinya 6,5 persen? Ini ada dalam peraturan atau tidak," jelasnya.
Jika pemerintah ternyata menetapkan kenaikan UMP 6,5 persen sebagai angka maksimal, Roy menegaskan, serikat buruh di Jawa Barat menolak karena tuntutan kenaikan upah ini sebesar 10 persen.
"Kalau 6,5 persen maksimal kami menolak, karena sudah tidak ada ruang lagi untuk menaikkan menjadi 10 persen," ucapnya.
"Tapi kalau itu adalah angka minimalnya 6,5 maka ada kemungkinan besar di beberapa daerah yang ada di industri dan pertumbuhan ekonominya bagus ya kan jadi 10 persen," katanya.