Tips Dokter Cegah Kematian Dini Akibat Penyakit Kardiovaskular

- Penyakit kardiovaskular (PKV) penyebab kematian utama di dunia, termasuk Indonesia.
- Data IHME 2019: 651.481 kematian akibat PKV di Indonesia, dengan beban finansial mencapai Rp 17,6 triliun.
- Pentingnya pencegahan primer dan sekunder serta peran dokter spesialis jantung dalam penanganan PKV di Indonesia.
Bandung, IDN Times - Penyakit kardiovaskular (PKV) adalah penyebab kematian utama di seluruh dunia dan menyebabkan beban secara finansial dan non finansial yang lebih besar daripada penyakit lainnya. Pada tahun 2010, penyakit kardiovaskular menyumbang 30 persen dari 52 juta kematian di seluruh dunia. Beban penyakit kardiovaskular telah beralih dari negara maju ke negara berkembang, terutama di negara dengan penghasilan rendah dan menengah (LMICs) seperti Indonesia.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), dr Ade Meidian Ambari, mengatakan data dari The Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) tahun 2019 menunjukkan bahwa terdapat 651.481 kematian akibat penyakit kardiovaskular di Indonesia. Angka ini mencakup kematian akibat stroke (331.349), penyakit jantung koroner (245.343), dan penyakit jantung hipertensi (50.620).
Bahkan Survei kesehatan 2023 juga senada. Sebanyak 0,85 persen didiagnosis mempunyai riwayat penyakit tersebut. Secara finansial, kasus penyakit kardiovaskular pun tak main-main yakni mencapai Rp 17,6 triliun.
"Namun penyakit ini sebenarnya bisa diminimalisir sejak dini melalui pendekatan komprehensif yang mencakup gaya hidup sehat, deteksi dini, hingga rehabilitasi pasca kejadian," kata Ade, Minggu (11/5/2025).
1. Pencegahan menjadi langkah paling baik

Menurutnya, perlu atensi lebih besar pada pencegahan primer yang fokus pada promosi gaya hidup sehat. Kemudian, preferensi sekunder pada deteksi dan pengelolaan faktor risiko yang sudah ada dan bertujuan untuk mencegah perulangan serangan jantung.
"Ini sangat penting untuk menjaga pemulihan dan mencegah terjadinya secara berulang, dan ini juga merupakan peranan penting dari rehabilitasi jantung di samping meningkatkan aksesibilitas program rehabilitasi jantung yang komprehensif," jelasnya.
Selain itu, sangat penting dalam pencegahan primordial dengan membentuk lingkungan sehat sejak dini hingga skrining kesehatan, cegah aterosklerosis, waspada terhadap serangan mendadak seperti infark kiokard dan stroke, memahami faktor risiko utama yang terbukti secara ilmiah seperti hipertensi, dislipidemia, diabetes, dan merokok.
Sementara itu prevensi sekunder bisa dengan dengan cakupan program rehabilitasi jantung, menghadirkan akses merata ke rehabilitasi jantung, integrasi pelayanan jantung, pemberdayaan masyarakat, dan skrining hingga olahraga intensif.
2. Kasus penyakit ini di Indonesia tidak pernah turun

Ade menuturkan, PERKI sudah menggelar diskusi dengan tema "InaPrevent: Bridging Global Guidelines with Local Practices: Customizing Cardiovaskular Prevention, Rehabilitation Care and Sports Cardiology in Indonesia" kemarin, untuk mencari cara mengurangi angka kasus kemantian akibat kardiovaskular. Ini sangat krusial karena Indonesia saat ini proporsi beban penyakit kardiovaskular masih lebih tinggi dibandingkan negara lain di Asia.
Di saat angka tersebut di negara ASEAN saja seperti Filipina dan Vietnam turun, Indonesia justru bertahan. "Kita bisa memperkirakan kira-kira sampai tahun 2050, itu akan ada 35 juta orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular, kalau kita enggak rem dari sekarang," jelasnya.
3. Jumlah dokter jantung di dalam negeri masih minim

Di sisi lain, PERKI menyebit ada rasio jumlah dokter spesialis jantung di Tanah Air yang belum ideal untuk memberikan pelayanan maksimal. Idealnya rasio dokter jantung dengan penduduk itu sekitar 1 banding 100 ribu. Saat ini, jumlah dokter jantung di Indonesia baru sekitar 1.900.
"Anggap saja masyarakat Indonesia 300 juta, harusnya ada 3000 dokter jantung, tapi sekarang masih 1.900," ujar Ade.
Selain jumlahnya yang kurang, kata dia, sebaran dokter spesialis jantung di Indonesia pun tidak merata.
"Sebarannya paling tinggi itu ada di pulau Jawa sama Sumatra, sedangkan di Papua itu ada beberapa Provinsi baru yang belum ada dokter jantungnya. Jadi, masalah kita tidak hanya produksi, tapi penyebarannya juga," tambahnya.
Pihaknya pun sudah berkoordinasi dengan Kementerian dan Pemerintah daerah agar fokusnya tidak hanya mencetak sebanyak-banyaknya dokter spesialis, tapi menyediakan fasilitas penunjangnya.
"Oleh karena itu, kita sering mengadvokasi Kementerian dan Pemerintah Daerah, tentang kebutuhan Dokter jantung, maka harus disiapkan fasilitasnya minimal ada Eco dan Treadmill, terus dokternya digaji, kalau dokternya tidak digaji, ya kabur," ucapnya.