ilustrasi naik haji (pexels.com/Shams)
Politikus PKB itu mempertanyakan dasar perubahan tersebut. Selain itu, dia juga mempertanyakan Kemenag terkait langkah-langkah antisipasi atas adanya perubahan tersebut.
"Mengapa harus delapan syarikah yang dilibatkan, dan apa dasar pertimbangannya? Seharusnya Kementerian Agama telah melakukan identifikasi masalah dan langkah-langkah mitigasi sebelum menerapkan kebijakan ini. Apakah kekacauan yang terjadi saat ini sudah diketahui dan diantisipasi oleh Kemenag," kata dia.
Ditegaskannya, jika tetap menggunakan delapan syarikah, pembagian tanggung jawab semestinya tetap didasarkan pada wilayah di Indonesia. Dicontohkannya, misalkan Syarikah A bertanggung jawab atas jemaah dari wilayah tertentu di Jawa Barat, Syarikah B untuk kota tertentu di Jawa Timur, dan seterusnya.
“Jangan seperti kondisi saat ini, lebih dari satu syarikah menangani jemaah dari satu daerah. Hal ini membingungkan jemaah dan juga Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU)," kata dia.
"Bayangkan saja, ada jemaah yang belum siap berangkat namun tiba-tiba harus berangkat keesokan harinya, atau sebaliknya. Jemaah yang seharusnya berangkat beberapa pekan lagi di kloter lain, mendadak harus segera berangkat. Sistem seperti apa ini jika hasilnya justru menimbulkan kekacauan," lanjut legislator asal Majalengka itu.