ilustrasi buruh migran (pexels.com/cottonbro studio)
Menteri Abdul Kadir menekankan pentingnya langkah sistematis dari pemerintah daerah untuk memutus mata rantai pengiriman ilegal ini.
Ia mendorong Kabupaten Cirebon untuk membentuk pusat pelatihan tenaga kerja migran atau Migran Center, yang terstandarisasi dan terintegrasi dengan negara-negara tujuan resmi seperti Jepang, Korea, dan Timur Tengah.
“Kita perlu siapkan tenaga kerja secara profesional. Dari pelatihan keterampilan, bahasa, sertifikasi, sampai dengan proses penempatan yang legal dan aman. Modul pelatihan pun bisa kita ambil dari negara tujuan,” ungkap Abdul Kadir.
Ia menambahkan, jika sistem penempatan dikelola secara prosedural, dampaknya bisa sangat besar terhadap ekonomi lokal.
Dengan asumsi tiap PMI asal Cirebon mengirimkan Rp5 juta per bulan ke keluarganya, maka dalam setahun potensi remitansi yang masuk bisa mencapai Rp660 miliar. Dana ini akan tersebar ke desa-desa, menopang konsumsi, pendidikan, bahkan pembangunan infrastruktur lokal.
“Itu uang segar masuk ke desa. Mana ada sektor lain yang bisa menghasilkan Rp660 miliar dalam setahun hanya dari satu kabupaten? Ini potensi luar biasa kalau kita kelola benar,” katanya.
Pemerintah pusat juga mendorong aparat hukum untuk menindak tegas perusahaan nakal dan individu yang terlibat dalam pengiriman non-prosedural. Sosialisasi kepada masyarakat desa dan edukasi hukum migrasi juga akan terus ditingkatkan.
“Sekarang akses resmi sudah gampang. Berangkat legal itu tidak sulit dan tidak mahal. Kita harus lawan informasi palsu yang disebar calo di media sosial. Kalau saya temukan perusahaan yang nakal, izinnya saya cabut,” ujar Menteri P2MI.