Kemudian, tim kuasa hukum Dadan Setiadi Megantara, Febri Hendarjat mengatakan, secara keseluruhan saksi yang dihadirkan jaksa belum bisa menjawab pertanyaan mendasar. Misalnya tumpang tindih antara izin lokasi perumahan yang merupakan izin pelaku usaha untuk memperoleh lahan lebih dulu sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan penetapan lokasi (penlok) tol yang melarang peralihan lahan.
"Di mana keduanya memiliki derajat dan tidak pernah ada pembatalan atas kedua izin tersebut dasar, namun secara substansi bertolak belakang, itu tidak terjawab," kata Febri.
Meski begitu, ada satu hal yang menurut dia memberi gambaran terang soal lahan di lokasi penlok, bahwa selama dalam penlok tersebut belum memiliki trase atau jalur tol, maka secara logika peralihan lahan dapat dilakukan.
Penetapan lokasi pertama kali pada tahun 2005 belum dilengkapi dengan trase atau jalur tol. Setelah tujuh kali perubahan baru ada trase atau jalur tol di penlok tahun 2018. Kemudian mengenai ketidakpastian masa berlaku penlok, itu pun belum terjawab secara komprehensif.
"Itu soal perbuatan hukum pengalihan lahan tanah milik adat masyarakat di lokasi penlok, selama belum ada trase atau jalur ternyata bisa atau dibolehkan," kata dia.
Dalam perkara ini para terdakwa dinilai telah melakukan perbuatan merugikan negara Rp329 miliar dalam proses pembebasan lahan Tol Cisumdawu.
Dugaan korupsi bermula saat Dadan selaku pengusaha properti, jauh sebelum ada proyek Tol Cisumdawu, mengajukan pengadaan tanah untuk perumahan.
Proses pengadaan tanah itu kemudian diurus sehingga keluar izin prinsip, izin lokasi dan perizinan lainnya dari Pemkab Sumedang. Seiring berjalannya waktu, muncul rencana Proyek Strategis Nasional yang diusulkan Pemkab Sumedang dan keluar penetapan lokasi pengadaan Tol Cisumdawu, namun belum ada detail jalur tol.
Kemudian, Dadan ditetapkan sebagai penerima ganti untung dari pemerintah senilai Rp320 miliar lebih. Namun, saat ditetapkan sebagai penerima ganti untung, ada pihak lain mengklaim tanah yang dikuasai Dadan sehingga bersengketa perdata.
Pemerintah pun menitipkan uang ganti rugi tersebut secara konsinyasi ke PN Sumedang. Hanya saja, penyidik Kejari Subang kemudian mengendus ada perbuatan melawan hukum dalam proses pengadaan tanah dan berakibat pada kerugian keuangan negara.