Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kegiatan MICE di Lombok. (IDN Times/Muhammad Nasir)
Ilustrasi kegiatan MICE di Lombok. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Intinya sih...

  • Hotel-hotel di Cirebon sepi karena kebijakan penghematan anggaran pemerintah pusat yang membatasi kegiatan dinas dan rapat di luar kantor.

  • Kebijakan efisiensi pemerintah pusat berdampak berat pada sektor jasa lokal, terutama hotel yang bergantung pada kegiatan kolektif.

  • Pelaku usaha hotel lokal berupaya menyelamatkan diri dengan menyasar pasar lokal melalui paket promosi dan kolaborasi dengan komunitas. Namun, strategi ini belum mampu menutup kekosongan dari agenda pemerintah.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Cirebon, IDN Times - Industri perhotelan di Kabupaten Cirebon menghadapi masa suram. Sepanjang Januari hingga Mei 2025, hampir seluruh agenda kegiatan yang biasa digelar di hotel batal terlaksana.

Mulai dari rapat pemerintahan, pelatihan, hingga acara wisuda, satu per satu dibatalkan. Penyebabnya tak lain adalah kebijakan penghematan anggaran dari pemerintah pusat yang membatasi kegiatan dinas dan rapat di luar kantor.

1. Hotel sepi, aula Kosong

ilustrasi wisuda (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Cirebon, Ida Kartika, menjelaskan sejak awal tahun ini, hotel-hotel di wilayahnya tidak lagi menerima kegiatan dari instansi pemerintahan. Padahal sebelumnya, hampir setiap minggu selalu ada jadwal rapat, bimbingan teknis, atau pelatihan yang digelar di hotel.

“Sejak Januari sampai Mei, nyaris tidak ada aktivitas. Yang biasanya ramai dengan kegiatan pemerintah, sekarang betul-betul sepi,” ujar Ida, Jumat (13/6/2025).

Tak hanya sektor pemerintahan yang absen, kegiatan masyarakat seperti wisuda sekolah pun ikut terkena imbas. Beberapa hotel yang sebelumnya rutin menjadi lokasi perpisahan siswa kini hanya bisa menerima kabar pembatalan.

Hotel Dedijaya kehilangan sembilan jadwal wisuda. Hotel Aston kehilangan 18 kegiatan. Sementara di Hotel Patra, tercatat lebih dari 90 persen agenda dibatalkan.

Kondisi ini, menurut PHRI, belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan saat pandemi covid-19 lalu. “Waktu pandemi, kita masih punya harapan setelah vaksinasi. Tapi sekarang, semua menunggu arah kebijakan anggaran,” tambah Ida.

2. Kebijakan efisiensi antara rasionalitas dan risiko sosial

ilustrasi membuat anggaran keuangan (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Akar persoalan ini berasal dari kebijakan pemerintah pusat untuk menahan laju belanja negara. Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan menyuarakan penghematan, termasuk membatasi perjalanan dinas dan rapat luar kota bagi aparatur sipil negara.

Meskipun langkah itu dinilai tepat secara fiskal, dampaknya terasa sangat berat di sektor jasa lokal.

Menurut PHRI, lebih dari separuh kegiatan hotel selama ini berasal dari segmen government event. Ketika pasar utama tersebut hilang, usaha yang bergantung pada kegiatan kolektif otomatis terhenti.

“Kalau hanya mengandalkan tamu individu atau acara keluarga, tentu tidak bisa menutupi beban operasional hotel besar. Apalagi untuk EO, vendor, dan tenaga casual,” kata Ida.

PHRI mencatat banyak hotel kini mengurangi operasional. Beberapa menutup layanan tertentu, menunda pembelian bahan baku, hingga memberhentikan tenaga lepas. Sistem kerja harian yang biasa digunakan saat acara kini dihentikan total.

“Anak-anak sekolah yang biasanya bantu wisuda juga kehilangan penghasilan tambahan. Ada ekosistem ekonomi yang lumpuh karena kegiatan massal hilang,” imbuhnya.

3. Upaya hotel lokal menyelamatkan diri

Ilustrasi Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) . (IDN Times/Yuko Utami)

Meski menghadapi tekanan berat, para pelaku usaha tidak tinggal diam. PHRI Cirebon kini mendorong hotel-hotel untuk menyasar pasar lokal melalui paket promosi seperti diskon kamar akhir pekan, promo pernikahan sederhana, hingga kolaborasi dengan komunitas lokal untuk kegiatan berskala kecil.

Namun, Ida mengakui strategi ini belum mampu menutup kekosongan yang ditinggalkan agenda pemerintah. “Pasar lokal itu sifatnya terbatas. Tidak bisa rutin setiap minggu. Kita butuh kegiatan besar untuk menyerap biaya operasional,” katanya.

Ia berharap pemerintah pusat dapat meninjau ulang kebijakan efisiensi dengan memperhatikan aspek keberlanjutan usaha kecil dan menengah di daerah.

PHRI pun kini tengah menyusun usulan kepada pemerintah daerah agar bisa menginisiasi program pengganti berupa pelatihan berbasis komunitas, yang tetap bisa dilakukan di hotel namun dengan biaya lebih ringan dan tema non-dinas.

“Kami tidak menolak efisiensi, tapi harus ada ruang agar usaha daerah tetap bisa hidup. Kalau semua dipotong, yang menderita bukan hanya hotel, tapi juga rakyat kecil yang menggantungkan hidupnya dari sektor ini,” ujarnya tegas.

Editorial Team