Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Cuplikan buku Radio Malabar, Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945

Bandung, IDN Times – Jumat (26/4), gerombolan Pramuka berseliweran di antara reruntuhan bangunan tua kaki Gunung Puntang, Pegunungan Malabar, Kabupaten Bandung. Beberapa di antara mereka duduk-duduk di atas reruntuhan itu. Sebagian lainnya mengangkat tinggi-tinggi tongsis (Tongkat narsis), dan berswafoto di sana.

Seabad lalu, di area tempat mereka bertamasya itu berdiri kompleks Radio Malabar, stasiun radio pertama yang menyambungkan komunikasi suara antara Indonesia dan Belanda. Reruntuhan bangunan tua yang jadi tempat tim Pramuka berswafoto itu, ialah rumah dinas para penjawat Radio Malabar selama mereka bekerja di sana sejak 1916.

Untuk menuju situs peninggalan Radio Malabar, Anda perlu menempuh jarak sekitar 20,7 km. Atau, jika ditempuh dengan kendaraan roda empat dan dua, Anda kira-kira akan menghabiskan waktu sekitar 50 menit melintasi Jalan Gunung Puntang. Meski terbilang jauh, berkelok, dan berkabut, Anda tak perlu cemas karena semua akses menuju situs Radio Malabar, atau yang kini akrab dijuluki Bumi Perkemahan Gunung Puntang, sudah beraspal.

Mudahnya mengakses Radio Malabar, tak semudah menjabarkan sejarahnya. Terutama tentang bagaimana Radio tersebut luluh lantak. Pasalnya, berbagai catatan sejarah, baik buku mau pun peninggalan penting, belum cukup membawa kita pada titik seterang-terangnya cerita Radio Malabar.

Namun, IDN Times mencoba mencatatkan kembali bagaimana Radio Malabar diprakarsai hingga akhirnya menjadi puing yang berisi segudang misteri.

IDN Times/Galih Persiana

1. Catatan Perjalanan Klaas Dijkstra

IDN Times/Galih Persiana

Nama Klaas Dijkstra, seorang menir Belanda yang datang ke Indonesia pada awal abad 20 diam-diam menuliskan catatan perjalanannya ke Radio Malabar. Ia memang dipanggil, atau lebih tepatnya ditugaskan Belanda untuk bekerja membantu dr. De Groot (Pendiri Radio Malabar) dalam mengoperasikan Radio Malabar di selatan Bandung.

Catatan tersebut kemudian ditemukan oleh seorang penulis bernama Arthur O. Bauer ketika tengah menyidik bekas stasiun penyiaran Radio Kootwijk di Belanda pada musim semi 2001. Singkat cerita, ia mendapat izin untuk mengolah temuannya itu dan menyiarkan sebuah buku berjudul “Radio Malabar, Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945”. Atau jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, “Radio Malabar, Kenangan dari Masa-masa yang Menyenangkan pada 1914-1945,”

Buku tersebut sejauh ini kerap dijadikan landasan cerita tentang pembangunan hingga perpisahan antara pemerintah Belanda dengan Radio Malabar-nya yang mahsyur. Dijkstra kreatif pun sempat mereportase pertemuan pertamanya dengan masyarakat Bandung Selatan, hingga kekagumannya pada mega proyek Radio Malabar.

Meski demikian, IDN Times mencoba untuk mengulas riwayat Radio Malabar tidak hanya dari buku Arthur O. Bauer saja, melainkan juga dari berbagai sumber lainnya.

2. Kunjungan pertama saya ke Radio Malabar

Editorial Team

Tonton lebih seru di