Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi radio (Pixabay.com/fancycrave1)

Jakarta, IDN Times- Lebih dari 19 tahun, Kemal Mochtar menghabiskan hidupnya di industri radio. Suaranya begitu akrab mendampingi mereka yang hilir-mudik mengais rezeki di Ibu Kota. Sederhana saja, ia ingin lagu yang diputar dan candaan yang dilontarkan bisa menghibur seluruh penikmat frekuensi analog.

“Karena gue suka ngehibur orang lewat lagu dan juga dengan omongan,” kata penyiar 98.7 Gen FM itu kepada IDN Times.

Tak pernah terbesit dalam benaknya untuk menjajal profesi lain. Baginya, bercuap-cuap ria serta didengar banyak orang adalah passion yang telah mandarah daging sejak dini.

Dia menceritakan bagaimana antena dan mini compo mewarnai hidup Kemal kecil. “Gue pas kecil suka pura-pura jadi penyiar, segala antena itu gue jadiin mic,” kata Kemal, seakan tak ada satu detikpun masa lalu yang ia lupakan.

“Terus di SMA, sekitar tahun 1996-1999, gue juga bikin radio sama teman-teman gue,” kenangnya.   

Masa remaja Kemal dihabiskan di sekolah internasional yang terletak di Genewa, Swiss. Sekembalinya ke tanah air, alumni Universitas Trisakti ini dihadapkan dengan berbagai demontrasi. Maklum, era reformasi menuntut mahasiswa untuk melakukan perubahan di luar kelas.

“Akhirnya sering bolos tuh. Gue bingung, ngapain ya. Eh datanglah teman yang nawarin untuk jadi penyiar radio. Nah, di situlah gue pertama kali siaran, radionya itu MTV On Sky 101.6 FM. Kemudian bertransformasi dan sekarang jadi 101.4 Trax FM,” lanjutnya. 

Perjalanan panjang Kemal bermula dari upah Rp5.000 untuk setiap jam siarannya. “Terus naik jadi Rp7.500,” ujarnya.

Lambat laun, kecintaannya terhadap radio berhasil mengantarkan Kemal beserta keluarganya untuk keliling Eropa. “Bahkan sampai gue punya rumah,” imbuh dia.

“Kalau gue ditanya, bisa gak hidup dari radio? Nyatanya gue hidup. Lu bayangin, gue bisa nonton konser Westlife empat kali, Fat Boy Slim, ngeliput MTV Awards, sampai liputan bola dan itu semua gratis. Itu semua karena gue yakin sama passion gue,” papar Kemal.

1. Radio di era kolonial Belanda, bentuk perlawanan terhadap penjajah

IDN Times/Vanny El Rahman

Sejarah panjang radio di Indonesia bermula ketika Belanda sadar akan efektivitas jalur komunikasi udara. Dalam buku Sedjarah Radio di Indonesia yang diterbitkan Kementerian Penerangan RI pada 1953, Belanda menggunakan radio untuk menyampaikan pesan seputar perdagangan.

Sadar akan potensinya, segelintir masyarakat Indonesia bercita-cita untuk memiliki saluran radio sendiri. Dengan modal urunan seikhlasnya, akhirnya masyarakat Indonesia berhasil mendirikan Bataviase Radiovereniging (BRV) pada 16 Juni 1925. BRV menjadi radio pertama yang digunakan masyarakat Indonesia untuk melawan propaganda Belanda.

BRV menjadi inspirasi bagi sejumlah daerah untuk melahirkan radio-radio lokal. Salah satu radio daerah yang paling berpengaruh adalah Solose Radiovereniging (SRV) yang berdiri di Surakarta pada 1 April 1933. Kala itu, radio hanya bisa dinikmati oleh kalangan elite. Hanya 20 bangsawan yang diketahui mendengarkan radio.

NIROM yang merupakan radio milik Belanda merasa khawatir dengan tumbuh suburnya radio lokal. Alhasil, NIROM mengurangi subsidi yang sebelumnya diberikan kepada radio daerah. Subsidi akan diberikan lebih apabila pengurus radionya bertambah. Akan tetapi, pada masanya, pengurus struktural harus memiliki radio, yang mana setiap pemiliknya akan dibebankan pajak. Karenanya, banyak radio lokal terpaksa gulung tikar akibat syarat yang melilit.

Salah satu upaya melawan penjajah adalah dengan membentuk perserikatan radio ketimuran (istilah lain dari Indonesia). Perwakilan dari VORO (Jakarta), VORL (Bandung), MAVRO (Yogyakarta), SRV (Surakarta), dan CIVRO (Surabaya), sepakat menjadikan M. Sutardjo Kartohadikusumo sebagai ketua Perserikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) pada 28 Maret 1937.

Dengan menyetujui syarat-syarat tertentu, akhirnya NIROM bersama pemerintah kolonial mengizinkan radio ketimuran untuk beroperasi. PPRK pertama kali mengudara pada 1 November 1940 menggunakan pemancar Nirom. Alotnya perizinan membuat rencana penyiaran tertunda selama tiga tahun.

2. Radio dan proklamasi di era kolonial Jepang, cikal-bakal berdirinya RRI

Editorial Team

Tonton lebih seru di