Ilustrasi kerja sama (pexels.com/cottonbro)
Berikutnya adalah masalah kualitas barang, di mana produk UKM yang ingin dikirim ke luar negeri harus sudah sertifikasi uji layak. Masalahnya, proses sertifikasi produk lagi-lagi terkendala masalah biaya.
"Ini kira-kira yang membuat kita selalu kalah bersaing dengan negara lainnya. Karena dalam ekspor itu yang paling utama adalah kualitas, kuantitas, dan ketersediaan," ujar Yulius.
Kebanyakan UKM bergantung kepada pemerintah dan lonjakan perbankan. Namun, tidak dengan Revolt Industry. CEO Revolt Industry, Stephen Firmawan Panghegar mengatakan, sejak berdiri pada tahun 2014, Revolt Industry sangat independen atau mandiri. Modal awalnya saja hanya Rp7 jutaan.
"Revolt Industry adalah sebuah merek lokal independen yang bergerak di bidang fesyen dan gaya hidup dengan produk fesyen berbahan kulit lokal dengan produksi secara handmade. Saat ini, total omzet kami per bulannya mencapai Rp400 juta, sumbangan ekspor masih sangat kecil yaitu Rp40 jutaan," tutur Stephen.
Ia memulai usahanya dari garasi yang dibalut oleh mimpi dan keresahan. Sudah banyak lika-liku yang berhasil dihadapi karena buah hasil kerja keras jajaran brand.
"Dari garasi, di tahun pertama kebakaran, kemalingan, kebanjiran, dan pandemi. Tapi kita berdiri lagi," kata Stephen.
Pada intinya, Revolt Industry sangat independen secara brand. Artinya, orang di balik Revolt Industry melakukan usahanya sendiri mulai dari pemilihan bahan produk, sampai pada tahap penjualan.