Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Aliansi PRR menggelar Aksi Mogok Makan di Gedung DPR RI pada Senin (14/8/2023). Mereka mendesak RUU PPRT segera disahkan. (Dok. IDN Times/JALA PRT)
Aliansi PRR menggelar Aksi Mogok Makan di Gedung DPR RI pada Senin (14/8/2023). Mereka mendesak RUU PPRT segera disahkan. (Dok. IDN Times/JALA PRT)

Intinya sih...

  • RUU PPRT harus pastikan setiap pekerja terlindungi

  • RUU ini harus menyelerasakan hukum nasional

  • Aturan ini bisa jadi benteng hukum bersama

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Anggota DPR Dapil Bandung-Cimahi, Habib Syarief menekankan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) harus menjadi regulasi khusus (lex specialis) yang benar-benar memberikan jaminan perlindungan, mulai dari jaminan sosial, kesehatan, hingga kepastian kerja bagi para pekerja rumah tangga.

Dengan jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia yang mencapai 4,2 juta orang maka dampak sosial dan ekonomi yang melekat pada profesi ini sudah seharusnya tidak lagi disebut sebagai pembantu rumah tangga. Mereka eharusnya dimaknai sebagai pekerja profesional dalam spektrum ketenagakerjaan nasional.

"Perlindungan pekerja rumah tangga harus komprehensif, menyasar seluruh klasifikasi PRT, baik yang bekerja penuh waktu, paruh waktu, direkrut langsung maupun tidak langsung, semua harus mendapat jaminan sosial seperti jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan kematian, hari tua, pensiun, dan kehilangan pekerjaan sebagaimana diatur dalam program BPJS," kata dia melalui siaran pers diterima IDN Times, Selasa (9/9/2025).

1. Harus pastikan setiap pekerja terlindungi

Anggota DPR Dapil Bandung-Cimahi, Habib Syarief

Dia menegaskan bahwa RUU PPRT adalah penegakan amanat konstitusi Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan secara tegas setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, yang harus dibaca sebagai satu kesatuan utuh, bukan hanya soal menyediakan lapangan kerja tapi juga memastikan terlindunginya hak-hak pekerja secara penuh.

Sehingga tidak boleh membiarkan hadirnya ruang penafsiran bagi pemberi kerja untuk kemudian dapat memilih agar tidak menanggung iuran jaminan sosial ketenagakerjaan dalam ‘kesepakatan kerja’ sebagaimana tertera pada Pasal 16 ayat (2) RUU. Ini adalah preseden berbahaya yang memungkiri amanat hukum dan kemanusiaan.

2. RUU ini harus menyelerasakan hukum nasional

Koalisi Sipil untuk RUU PPRT bersama JALA PRT menggelar aksi ketiga kalinya di depan Gedung DPR RI, mendesak pengesahan RUU PPRT, Senin (13/3/2023).. (IDN Times/Melani Putri)

Lebih jauh, ia menekankan bahwa RUU ini harus mengadopsi nilai-nilai dalam Konvensi ILO No. 189 Tahun 2011 tentang Kerja Layak bagi PRT, yang memberikan standar internasional untuk pengakuan, perlindungan, dan penghargaan atas profesi pekerja rumah tangga.

" Kekecewaan besar muncul karena Indonesia hingga saat ini belum juga meratifikasi konvensi ini, sehingga RUU ini menjadi momentum bersejarah untuk menyelaraskan hukum nasional dengan nilai-nilai HAM dan keadilan global," paparnya.

3. Aturan ini bisa jadi benteng hukum bersama

Koalisi Sipil untuk RUU PPRT bersama JALA PRT menggelar aksi ketiga kalinya di depan Gedung DPR RI, mendesak pengesahan RUU PPRT, Senin (13/3/2023).. (IDN Times/Melani Putri)

Ia mengingatkan bahwa perlindungan hukum harus bersifat preventif dan represif, yaitu mencegah pelanggaran dengan regulasi tegas dan memberikan sanksi tegas bila terjadi pelanggaran hak.

“Pada akhirnya, RUU PPRT nantinya akan menjadi benteng hukum dan moral bagi jutaan pekerja rumah tangga di tanah air yang menuntut keadilan dan penghormatan layak.”

Syarief berharap seluruh pemangku kepentingan, mulai legislatif hingga pelaksana teknis, meneguhkan komitmen bersama tanpa kompromi, memastikan RUU ini segera disahkan dan dilaksanakan dengan integritas, sebagai wujud nyata keberpihakan negara terhadap mereka yang selama ini terabaikan dan sering disisihkan.

Editorial Team