Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kang Dedi Mulyadi Berbicara Saat Rapat (jabarprov.go.id)
Kang Dedi Mulyadi Berbicara Saat Rapat (jabarprov.go.id)

Intinya sih...

  • Kebijakan penambahan rombongan belajar (Rombel) khusus SMA dan SMK negeri di Jawa Barat menjadi polemik di masyarakat.

  • Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyatakan penambahan rombel hanya 384 kelas dari total 8.727 ruang kelas untuk kelas satu SMA dan SMK.

  • Sejumlah sekolah swasta merasa keberatan karena kebijakan ini mengurangi jumlah murid, dengan banyak calon murid mencabut berkas pendaftaran selama proses Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun ajaran 2025/26.

Bandung, IDN Times - Kebijakan penambahan rombongan belajar (Rombel) khusus SMA dan SMK negeri di Jawa Barat untuk murid dengan kategori miskin menjadi polemik di kalangan masyarakat. Sejumlah sekolah swasta merasa keberatan karena kebijakan ini mengurangi jumlah murid.

Menanggapi hal ini Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengatakan, berdasarkan data yang ada, jumlah SMA dan SMK di Jabar itu ada 801 unit, sedangkan jumlah ruang kelasnya untuk kelas satu, ada 8.727 dan yang digunakan rombel 48 sampai 50 siswa hanya 384 kelas.

Menurutnya, sekolah swasta yang muridnya mengalami penurunan masih bisa mencari cari jalan lain agar tetap pendidikan berjalan.

"Kebayang kalau saya tidak ngambil keputusan itu. Apa yang terjadi hari ini, protes terjadi di mana-mana. Di setiap sekolah orangtua siswa berteriak, tidak bisa masuk sekolah," ujar Dedi, dikutip Sabtu (12/7/2025).

1. Klaim akibat kebijakannya SPMB kondusif

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di Rakor KPK Jakarta Utara (YouTube.com/KPK)

Dedi mengklaim pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tidak mengalami masalah, terbukti dengan tidak munculnya protes dari masyarakat. Kondisi ini bagina berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya atau sebelum muncul beberapa kebijakan yang dikeluarkannya.

"Dulu sampai ada di Bogor, saya ingat betul ketika masih anggota DPR RI, ada siswa mengukur jalan dari rumah ke sekolah. Diukur per meter loh, bayangin," katanya.

"Hari ini tidak terjadi karena negara sudah hadir untuk melindungi warganya agar bisa bersekolah sampai SMA," katanya.

2. Akan berikan pendingin ruangan di setiap kelas

Dedi Mulyadi di Gedung KPK pada Senin (19/5/2025). (dok. Humas KPK)

Sementara itu, terkait rombel yang diisi oleh 48 sampai 50 siswa, akan di pasang pendingin ruangan (AC) masing-masing dua titik agar siswa tetap nyaman belajar meski ruang kelasnya penuh sesak.

"Insya Allah nanti mau dikirim AC, 2 PK, dan satu kelasnya dua AC. Duitnya sumbangan dari berbagai pihak yang peduli pendidikan di Jabar, salah satunya Joshua Sirait dan masih banyak lagi," ucapnya.

Diketahui, calon murid sekolah SMA swasta di Jawa Barat kini banyak mencabut berkas pendaftaran selama proses Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun ajaran 2025/26. Kondisi tersebut diduga terjadi karena adanya program Penanggulangan Anak Putus Sekolah (PAPS).

Ketua Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS) Jawa Barat, Ade D. Hendriana mengatakan, kehadiran program PAPS ini membuat tidak sedikit para calon murid mencabut berkas dan masuk ke sekolah swasta.

"Setelah pengumuman terakhir. SMA swasta bukannya bertambah malah pada mencabut berkas dalam artian mereka diterima dalam program PAPS. Artinya program itu kan untuk pencegahan anak, untuk putus sekolah, sehingga tidak tepat sasaran juga," ujar Ade, Kamis (10/7/2025).

Diketahui, PAPS sendiri merupakan kebijakan dari Keputusan Gubernur (Kepgub) Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025, di mana warga yang masuk dalam kategori miskin ekstrem ini dijaring untuk bersekolah di SMA dan SMK negeri tertentu. Kebijakan itu menimbulkan penambahan rombongan belajar (rombel) dari yang semula 36 murid, bertambah menjadi 50 siswa.

3. Sebanyak 120 pendaftar sekolah swasta cabut berkas

ilustrasi jadwal SPMB SMA (unsplash.com/Ed Us)

Berdasarkan kondisi di lapangan saat ini, Ade menilai, penjaringan siswa PAPS ini justru tidak tepat sasaran dan berdampak kepada SMA swasta di mana para calon murid banyak mencabut berkas pendaftaran, dan kini banyak beranjak ke sekolah negeri.

"Kenapa tidak tepat sasaran, karena mereka kan mampu di sekolah swasta. Kemudian ada salah satu SMA favorit di Kota Bandung menerima siswa dari SMP favorit juga. Artinya SMP dengan cara bayar tinggi kenapa bisa masuk jalur PHP, itu kan sudah tidak masuk kategori PHPS," ujarnya.

Ade terang-terangan menyebut ada 120 pendaftar di dua SMA swasta di Kota Bandung yakni SMA Pasundan 1 dan SMA PGII 1 yang mencabut berkas setelah diterima di sekolah negeri melalui jalur PAPS.

"Di Bandung yang sekolah elite juga hancur, rontok. Ada 120 calon murid cabut berkas diterima jalur PAPS, ada yang hampir dua kelas cabut berkas. Itu di Pasundan 1 dan PGII 1," kata Ade.

Kondisi itu membuat keterisian siswa baru di 1.334 sekolah swasta di Jabar yang semula rata-rata 30 persen, kini semakin berkurang. "Sekarang menurun karena banyak cabut berkas, saya belum koordinasi lagi (pastinya berapa). Diprediksi menurun," ujarnya.

Editorial Team