Ilustrasi dana BOS. (dok. Kemendikbud)
Besarnya alokasi dana program makan siang gratis milik Prabowo ini mendapatkan penentangan dari Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI). Mereka menentang jika penggunaan dana makan siang gratis mengambil sebagian alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang selama ini jumlahnya kecil.
Ketua FAGI Iwan Hermawan mengatakan, dana BOS yang ada sekarang sebenarnya tidak terlalu besar untuk menutup keperluan operasional sekolah mulai dari administrasi, perbaikan sarana dan prasarana, hingga membayar guru honorer. Untuk itu sangat tidak etis ketika anggaran yang terbatas ini kemudian harus dialihkan sebagian untuk program baru.
"Karena dari awal memang dana BOS ini sudah ada keperluannya termasuk belanja pegawai dan belanja kedinasan. Sekarang kalau uang itu dipotong pasti ada pemangkasan kaitannya sama investasi di sekolah atau uang guru honorer," kata Iwan kepada IDN Times, Jumat (8/3/2024).
Menurutnya, selama ini dana BOS masih belum mensejahterakan pendidikan di Indonesia secara merata. Di berbagai daerah banyak bangunan terbengkalai, tidak terawat, karena sekolahnya tidak punya biaya untuk perbaikan sekalipun diberi dana BOS. Di sisi lain, sekolah pun diharamkan menarik uang dari orangtua siswa sehingga dana yang ada harus dimanfaatkan semaksimal mungkin termasuk membayar honor guru honorer.
Tidak hanya FAGI, penolakan tegas juga disampaikan Ketua PGRI Jawa Tengah, Dr Muhdi. Menurut dia, penggunaan dana BOS untuk anggaran makan siang gratis merupakan suatu kemunduran dalam dunia pendidikan.
Sebab, kata mantan Rektor UPGRIS ini, berdasarkan perinciannya, alokasi BOS untuk SD setahun itu hanya mencapai Rp900 ribu. Jika dihitung per harinya, tiap siswa SD mendapatkan BOS hanya Rp2.830.
"Padahal kalau kita hitung, untuk SD saja anak-anak kalau dapat BOS itu uangnya Rp2.830 per hari dari total Rp900 ribu. Kalau Rp15 ribu diambil maka BOS-nya gak jadi dipakai hanya untuk makan thok. Ini artinya dalam sehari defisitnya Rp567 miliar," kata mantan Rektor UPGRIS tersebut kepada IDN Times, Kamis (7/3/2024).
Menurutnya, dana BOS adalah alokasi bantuan pendidikan untuk memenuhi standar minimal pendidikan di masing-masing sekolah swasta dan negeri yang ada di Indonesia. Bahkan bila dilihat dari besaran pagu anggarannya, BOS yang diberikan pemerintah selama ini masih kurang memadai. Karena itu, pihaknya menegaskan menolak penggunaan dana BOS untuk program makan siang gratis.
Tidak hanya guru, orang tua siswa pun ikut menolak jika pemerintah memanfaatkan sebagian dana BOS untuk anggaran makan siang gratis nanti. Salah satunya Forum Orang tua Siswa (Fortusis) Jawa Barat. Mereka menolak program ini diterapkan di seluruh sekolah TK hingga SMP, karena kepentingan pemenuhan infrastruktur pendidikan, serta kualitas sumberdaya tenaga pendidik lebih penting.
"Kami menolak makan siang gratis di Jabar, mendingan faktor kualitas pendidikan dipenuhi dulu, kualitas itu macem-macem, infrastruktur, kurikulum, tenaga pendidikan. Itu penuhin saja dulu," ujar Koordinator Fortusis Jawa Barat, Dwi Soebawanto saat dihubungi, Rabu (6/3/2024).
Dwi menganggap, kualitas pendidikan di Jawa Barat masih perlu perhatian lebih dan harus diperbaiki terlebih dahulu dibandingkan melaksanakan menerapkan program makan siang gratis. Menurutnya, orang tua siswa banyak putus sekolah bukan karena tidak bisa makan siang.
"Program ini di dunia pendidikan sangat tidak penting. Apalagi di Jabar alamnya berlimpah. Tidak relevan di Jabar mending tingkatkan pelayanan, dalam rangka kurikulum merdeka supaya betul tuntas. Di Jabar banyak orang putus sekolah bukan karena tidak bisa makan," katanya.
Sementara itu, salah satu orang tua di Sekolah Dasar Inpres Medan, Sri Purnama mengaku mendukung program makan gratis yang akan dilakukan Prabowo-Gibran. Tetapi, anggaran yang digunakan untuk program ini jangan diambil dari dana BOS.
“Ya bagus, untuk menunjang gizi anak. Tapi kalau ada pemotongan dana BOS itu bukan gratis. Kalau memang gratis, ya gratis saja. Jangan dipotong-potong lagi. Karena dana bos ini bisa untuk kebutuhan yang lain, kayak buku, sepatu dan lainnya. Tapi kalau dikurangi untuk makan bagus masak sendiri,” jelas dia.
Sri mengaku, program dana BOS yang selama ini sudah bergulir saja baru dinikmati sekali selama anaknya bersekolah di SD Inpres. Kemudian, dia mengatakan bahwa saat putrinya duduk di kelas 1 pernah juga mendapatkan makan gratis. Artinya, sekitar 5 atau 6 tahun yang lalu sudah pernah ada makan gratis untuk anak sekolah inpres. Tapi, dia tidak mengetahui apakah bantuan tersebut dari pemerintah atau donatur dari pihak swasta.
“Pernah dapat makan gratis selama 3 atau 4 bulan, ada susunya ada buahnya. Lengkap 4 sehat 5 sempurna dari sekolah. Tapi gak tahu itu bantuan dari siapa. Waktu itu tidak dikenakan biaya 100 persen gratis, sekarang gak pernah lagi,” tambahnya.
Hal yang sama juga dikatakan Is, ayah dari anak yang juga bersekolah di SD Inpres. Dia berharap, pemerintah telah melakukan pendataan yang sesuai sehingga tidak terjadi salah sasaran penerima manfaat dari program makan siang gratis.
“Kalau memang ini akan diwacanakan, diharapkan pemerataan dan juga makanannya harus benar sehat. Jangan pula dimakan besok anak-anak jadi mencret,” kata Is.
Berbeda dengan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Mereka menilai biaya program makan siang gratis yang diwacanakan menggunakan dana BOS rawan dikorupsi. Sejumlah pengelola sekolah, termasuk guru, dinilai bakal rawan masuk bui.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji mengatakan, hingga kini sektor pendidikan masih masuk dalam besar sektor terkorup di Indonesia. Maka, biaya makan siang yang diperkirakan jumlahnya fantastis, bisa menjadi angin segar bagi para oknum di sektor pendidikan untuk melancarkan aksi lancung.
"Apalagi tidak jelas, siapa yang mengelola, siapa saja yang terlibat, bagaimana mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya? Dana BOS saja hingga kini masih bermasalah, apalagi ditambah lagi dengan dana makan siang," kata Ubaid, Jumat (8/3/2024).
Ubaid juga menilai, tujuan program makan siang ini belum jelas. Beragam kabar yang masih simpang-siur yang diterima masyarakat. Ada yang bilang untuk pencegahan stunting, pemenuhan gizi, tambahan makan siang, dan lain sebagainya. Jika untuk pencegahan stunting, menurut Ubaid, program ini tidak ada manfaatnya.
"Jika untuk program pencegahan stunting, maka peruntukannya adalah untuk ibu hamil dan anak hingga usia dua tahun. Jika untuk pemenuhan gizi, apa artinya makan siang, jika anak-anak itu berangkat sekolah dengan perut kosong tidak sarapan, lalu malamnya makan mie atau seblak? Maka makan siang untuk pemenuhan gizi ini tidak ada artinya," kata Ubaid.
Pun jika dipaksakan harus ada makan siang, kata Ubaid, maka anggaran makan siang harus di luar anggaran pendidikan. Sebab, saat ini anggaran pendidikan, yang jumlahnya 20 persen itu, sudah sangat terbebani dengan gaji guru dan belanja operasional pegawai.
"Akibatnya, tidak dapat banyak dimanfaatkan untuk meningkatkan akses dan juga mendorong kualitas pendidikan lebih baik," kata dia.