Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
20250830_141952.jpg
Aksi unjuk rasa gabungan berbagai elemen masyarakat di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, berujung kerusuhan besar pada Sabtu (30/8/2025) siang.

Intinya sih...

  • Restorative justice jadi opsi

  • Pendekatan restorative justice sebagai jalan tengah antara penegakan hukum dan perlindungan masa depan anak.

  • Mekanisme ini membuka ruang dialog antara korban, keluarga, dan masyarakat.

  • Pendampingan bukan berarti anak-anak diberi perlakuan istimewa.

  • Polisi tetapkan 28 tersangka

  • Total 28 orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk 13 anak di bawah umur.

  • Kerugian akibat kerusuhan mencapai Rp10 miliar untuk perusakan fasilitas di DPRD Kabupaten Cirebon.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Cirebon, IDN Times - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebutkan, akan tetap memberikan pendampingan hukum dan psikososial kepada 13 anak yang kini ditahan di Mapolresta Cirebon, Jawa Barat.

Belasan anak ini ditangkap setelah diduga terlibat dalam aksi kerusuhan dan penjarahan di kawasan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Cirebon, Sabtu (30/8/2025).

Menteri PPPA, Arifah Fauzi, menyatakan kehadiran pemerintah bukan untuk membebaskan anak dari tanggung jawab hukum, melainkan memastikan hak-hak mereka tetap terlindungi.

"Prinsip perlindungan anak harus dijalankan, meski proses hukum tetap berjalan,” ujarnya dalam kunjungan kerja ke Cirebon, Selasa (9/9/2025).

Menurut Arifah, pendampingan yang diberikan meliputi pemeriksaan kondisi kesehatan, pemenuhan hak pendidikan, hingga pendampingan psikologis.

Ia menekankan, anak-anak yang berkonflik dengan hukum harus diperlakukan secara manusiawi, sesuai aturan perlindungan anak di Indonesia.

1. Restorative justice jadi opsi

Aksi unjuk rasa gabungan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (30/8/2025), berakhir ricuh dan meninggalkan jejak kerusakan yang cukup parah.

Dalam pernyataannya, Arifah menekankan pentingnya penerapan pendekatan restorative justice. Mekanisme ini, menurutnya, mampu memberikan jalan tengah antara penegakan hukum dan perlindungan masa depan anak.

Restorative justice tidak hanya menuntut tanggung jawab dari pelaku, tetapi juga membuka ruang dialog antara korban, keluarga, dan masyarakat.

“Pendekatan seperti ini bisa mengembalikan kepercayaan diri anak, sekaligus memberi efek jera yang mendidik,” ucap Arifah.

Ia menegaskan, pendampingan bukan berarti anak-anak diberi perlakuan istimewa, melainkan memastikan hak dasar mereka tidak hilang hanya karena tersandung kasus pidana.

Arifah juga mengingatkan, kebebasan menyampaikan pendapat merupakan hak setiap anak dan remaja. Namun, hak tersebut harus dijalankan secara tertib dan damai tanpa menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Menurutnya, insiden di DPRD Kabupaten Cirebon harus menjadi pelajaran kolektif agar ekspresi politik anak muda tidak lagi berubah menjadi aksi merusak.

2. Polisi tetapkan 28 tersangka

Aksi protes pengemudi ojek online (ojol) dan warga di Kabupaten Cirebon berakhir ricuh, Jawa Barat. Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Cirebon menjadi sasaran amuk massa, Sabtu (30/8/2025) siang.

Sementara itu, Polresta Cirebon memastikan penanganan kasus tetap berjalan sesuai prosedur. Kapolresta Cirebon, Kombes Pol Sumarni, menyampaikan pihaknya telah menetapkan total 28 orang sebagai tersangka.

Dari jumlah tersebut, 13 di antaranya adalah anak-anak di bawah umur, sedangkan 15 lainnya merupakan orang dewasa.

Polisi juga berhasil mengamankan 39 barang bukti yang sebagian besar merupakan hasil penjarahan. Kerugian akibat kerusuhan ditaksir mencapai Rp10 miliar untuk perusakan fasilitas di DPRD Kabupaten Cirebon.

Selain itu, aset milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Cirebon turut mengalami kerugian sekitar Rp492 juta.

Menurut Sumarni, penyelidikan masih terus dilakukan untuk memastikan semua pihak yang terlibat dapat dimintai pertanggungjawaban.

Ia menegaskan, anak-anak yang terjerat kasus akan diperlakukan sesuai hukum yang berlaku, namun tetap memperhatikan prinsip keadilan anak.

3. Refleksi bagi keluarga dan masyarakat

Massa merusak sejumlah fasilitas umum milik Polresta Cirebon pada Sabtu (30/8/2025) siang.

Kasus kerusuhan di DPRD Kabupaten Cirebon ini menjadi alarm keras bagi orang tua, sekolah, dan masyarakat. Kementerian PPPA menilai lemahnya pengawasan lingkungan turut membuka celah bagi anak-anak untuk terseret dalam aksi berisiko tinggi.

“Tanggung jawab membimbing anak bukan hanya sekolah, tetapi juga keluarga dan komunitas sekitar,” kata Arifah.

Ia menambahkan, masa depan anak-anak tidak boleh berhenti hanya karena satu momen impulsif. Pendekatan edukatif dinilai jauh lebih efektif dibanding hukuman semata. Dengan demikian, anak-anak tetap bisa belajar dari kesalahan sekaligus menjaga kesempatan mereka meraih masa depan yang lebih baik.

Kementerian PPPA juga menegaskan, kasus ini harus menjadi momentum memperkuat kerja sama lintas lembaga: pemerintah daerah, kepolisian, sekolah, hingga organisasi masyarakat. Upaya kolektif dinilai penting agar ruang ekspresi anak dan remaja tetap terbuka, tetapi tetap dalam koridor yang mendidik dan tidak merugikan publik.

Editorial Team