Polemik di Tengah Penunjukan Putra Mahkota Keraton Cirebon

Cirebon, IDN Times - Setelah Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Sultan Arief Natadiningrat meninggal dunia, Keraton Kasepuhan tengah menyiapkan prosesi adat jumenengan atau penobatan putra mahkota Keraton Kasepuhan Cirebon. Penobatan Pangeran Raja Luqman Dzulqaedin menjadi Sultan Sepuh XV Keraton Kasepuhan akan disaksikan seluruh abdi dalem, masyarakat, tokoh masyarakat dan pemerintahan.
Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Pengangkatan simbolis PR Luqman Dzulqaedin menjadi Sultan Kasepuhan dilakukan oleh pini sepuh atau tokoh adat yang dituakan di lingkungan Keraton Kasepuhan. Biasanya, prosesi adat penobatan sultan yang baru akan diselenggarakan di hari ke-40 setelah wafatnya sultan pendahulunya.
Kendati demikian, ada yang menjadi sorotan dalam prosesi jumenengan adalah papakem atau ketentuan adat yang dipegang teguh secara turun temurun keraton. Berbagai kalangan menilai, penobatan sultan di Keraton Kasepuhan perlu kembali diluruskan. Sebab, papakem penganugerahan kepada penerus tahta sultan tak cukup hanya berlandaskan nasab.
Sebab, dari sumber catatan sejarah, papakem lain yang tidak begitu diperhatikan adalah musyawarah dalam pengukuhan sultan pengganti adalah musyawarah ulama. Hal tersebut disampaikan oleh filolog, Raffan S. Hasyim, Jumat (31/7).
1. Peran peguron dihilangkan dalam tradisi jumenengan

Filolog dan sejarawan asal Cirebon, Raffan S. Hasyim menjelaskan, relasi pesantren dengan keraton merupakan peguron atau tempat penempaan diri abdi dalem dan masyarakat menimba ilmu sesuai amanat raja atau sultan. Bahkan, pesantren punya posisi sebagai penasehat sultan apabila ada kekeliruan menjalankan pemerintahan. Jika keraton dipandang salah, maka pesantren bertanggung jawab meluruskan.
Dari beberapa teks sejarah, Raffan menjelaskan bahwa pengangkatan Sunan Gunung Jati sebagai sultan pertama Kesultanan Cirebon diangkat melalui musyawarah. Di mana, Sunan Ampel yang saat itu memutuskan Sunan Gunung Jati untuk memimpin Kesultanan Cirebon pertama kali.
"Sunan Gunung Jati itu ulama besar. Ketika diangkat, ya, melalui musyawarah, di mana Sunan Ampel yang mengangkat Sunan Gunung Jati menjadi sultan pertama," ujarnya.
Raffan menilai, perjalanan sejarah dari Kesultanan Cirebon (Keraton Pakungwati) hingga Keraton Kasepuhan sudah banyak perubahan. Dia meyakini, terakhir kali prosesi penobatan sultan yang masih berpegang pepakem keraton yaitu di era Sultan Sepuh V Sjafiudin atau Sultan Matangaji.
Dia menjelaskan, Sultan Matangaji adalah sultan terakhir Keraton Kasepuhan menjalankan pepakem adat penobatan sultan. Sebab, setelah Sultan Matangaji wafat, pemerintahan keraton sudah ada intervensi dari kolonial Belanda dan banyak perubahan tradisi. Termasuk mengubah pepakem.
Ia menambahkan, meskipun secara garis keturunan dari Sultan Sepuh adalah anak laki-laki, namun secara etika dulu Keraton Kasepuhan melibatkan ulama dalam penobatan.
"Meski penerus trah Sultan Sepuh dari garis keturunan laki-laki, bukan berarti penobatan tidak dilakukan dengan cara musyawarah. Jika saat ini ada ulama atau kiyai dari pesantren berita salah terkait penobatan saya kira wajar," tuturnya.
2. Penobatan dianggap melenceng dari pepakem

Sementara itu, melalui surat anuegrah yang berisi tentang penerus tahta keraton, PR Luqman Dzulqaedin sempat membacakan surat tersebut sesaat sebelum mengiringi jenazah Sultan Arief menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Akan tetapi, rencana penobatan PR Luqman Dzulqaedin menjadi sultan menuai polemik di kalangan pesantren.
Sebab, penobatan pengganti sultan di lingkungan Keraton Kasepuhan dinilai sudah tidak sesuai dengan papakem adat istiadat keraton oleh kalangan pesantren. Mereka menilai bahwa prosesi penobatan di Keraton Kasepuhan sudah melenceng dari tradisi dan kaidah syariat Islam.
Sesepuh Pondok Pesantren Benda Kerep Kota Cirebon, KH Muhtadi Mubarok mengatakan, penobatan putra mahkota sudah semestinya mengedepankan musyawarah sesuai dengan Syariat Islam. Hal itu sudah diajarkan secara turun menurun oleh Sunan Gunung Jati.
Dari kalangan pesantren menolak penobatan putra mahkota dengan hanya bermodal nasab. Muhtadi mengaku, dari kalangan pesantren yang masih memiliki darah keturunan Gunung Jati keberatan dengan tak adanya majelis adat yang berperan memberikan pertimbangan siapa sosok yang akan menjadi penerus sultan.
"Papakem penobatan sultan di Keraton Kasepuhan sudah melenceng dari syariat Islam. Yaitu tidak mengedepankan musyawarah. Kita orang mukmin, mestinya (penobatan) disesuaikan dengan aturan yang baik, di antaranya lewat musyawarah agar mendapatkan rohmat dan karomah Sunan Gunung Jati," ujarnya.
3. Penerus sultan sudah mendapat anugerah Sultan Sepuh

Sementara itu, Ketua Badan Pengelola Keraton Kasepuhan Ratu Raja Alexandra Wuryaningrat menegaskan bahwa PR Luqman Zulkaedin selaku putra mahkota sudah diberikan anugerah oleh mendiang Sultan Arief pada Januari 2018 silam. Anugerah tersebut tak lain merupakan mandat Sultan PRA Arief kepada PR Luqman Dzulqaedin untuk meneruskan estafet kepemimpinan.
Bahkan, saat melepas jenazah ayahnya ke Komplek Pemakaman ke Gunung Sembung, Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, PR Luqman Dzulqaedin membacakan kembali anugerah bahwa dia akan meneruskan tahta Sultan Arief.
"Waktu sebelum pelepasan, PR Luqman membacakan kembali anugerah bahwa dia adalah putera mahkota yang akan meneruskan tahta Sultan Arief," tutur Alexandra.
4. Keraton Kasepuhan yakin masih menjaga papakem adat istiadat

Dia menegaskan bahwa Keraton Kasepuhan masih memegang teguh papakem adat istiadat pengobatan sultan yang baru. Bahwa anak laki-laki dari garis keturunan sultan yang diberi anugrah sultan merupakan penerus sultan yang sah.
Alexandra menjelaskan, proses pengangkatan menjadi sultan memang ada pembekalan kepemimpinan. Kendati demikian, proses tersebut tidak harus menimba ilmu di pondok pesantren atau melibatkan dewan majelis untuk menentukan kelayakan calon sultan.
"Pembekalan itu ada. Wejangan atau pendidikannya langsung dari Sultan Sepuh XIV setelah penganugerahan dulu," ujarnya.
Alexandra juga mengatakan, ulama dari kalangan pesantren pun dipastikan akan diundang saat jumenengan atau penobatan PR Luqman menjadi Sultan Sepuh nanti. Selain itu, penobatan juga akan disaksikan langsung oleh abdi dalem, warga, kerabat dan tokoh masyarakat dan pemerintahan.
"Penobatan akan disaksikan disaksikan oleh semua kalangan, baik masyarakat, ulama, maupun dari pemerintahan. Dalam prosesi penobatan atau jumenengan akan dilakukan oleh pini sudah (tokoh adat yang dituakan)," terangnya.