Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi merokok (pexels.com/Padli Pradana)
Ilustrasi merokok (pexels.com/Padli Pradana)

Intinya sih...

  • Aturan KTR harus seimbang

  • Sektor pariwisata perlu diperhatikan

  • Peraturan harus adil dan berimbang

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Cirebon, IDN Times - Panitia Khusus Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Pansus Raperda KTR) DPRD Kabupaten Cirebon telah menyiapkan sejumlah pasal yang bakal diterapkan. Di antaranya ada pasal yang memuat larangan total penjualan rokok, pemajangan dan steril rokok di hotel, restoran dan tempat umum.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Cirebon, Ida Kartika menuturkan, jika pasal tersebut diterapkan maka semakin membebani pelaku usaha. Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang sulit saat ini, pelarangan total justru membuat keberlangsungan usaha semakin terseok.

PHRI berharap pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada sektor jasa dan pariwisata untuk bertahan, bukannya menambah tekanan dengan beragam pasal pada Raperda KTR.

"Kita belum bisa menempuh 50 persen (okupansi). Kami khawatir keberadaan Raperda KTR yang menekan diantaranya dengan pasal pelarangan merokok di tempat umum seperti hotel, berujung semakin mematikan sektor hotel. Akan ada 25 hotel di Kabupaten Cirebon yang akan semakin tiarap dengan tekanan dalam pasal-pasal dalam Raperda KTR ini," paparnya melalui siaran pers diterima IDN Times, Senin (10/11/2025).

1. Aturan KTR ini baik, tapi tetap harus seimbang

Seorang warga perlihatkan poster kawasan tanpa rokok. IDN Times/Debbie Sutrisno

Menurutnya, aturan KTR ini sudah banyak diterapkan di berbagai daerah dan dampaknya pasti baik. Meski demikian, aturan yang ada di setiap daerah tetap harus disesuaikan dengan kondisi kawasan setempat.

"Dengan Raperda KTR yang melarang rokok di hotel, ini kan membebani operasional. Hotel makin sepi pengunjung," ujar Ida.

Selama ini, lanjut Ida, pengunjung hotel yang merupakan konsumen produk tembakau, telah disediakan fasilitas tempat khusus merokok (TKM) tersendiri dari pengunjung lainnya. Dengan pasal di Raperda KTR yang mengharuskan pemisahan TKM dari bangunan utama, jauh dari lalu lalang orang dan akses pintu masuk.

"Operasional dan manajemen setiap hotel itu beda-beda. Tidak bisa disamakan penyediaan fasilitas ini antara klasifikasi hotel bintang satu, dua, tiga dan empat. Dan, pasal dalam Raperda KTR ini sama saja dengan menjadi tambahan beban baru bagi pelaku usaha," sebut Ida.

2. Sektor pariwisata harus tetap diperhatikan

Ilustrasi hotel (pexels.com/Pixabay)

Berkaca pada pandemik COVID-19 yang terjadi hampir dua tahun telah melumpuhkan sektor pariwisata seperti hotel dan restoran. Kini pelaku usaha berusaha memulihkan diri dengan mengaktivasi kegiatan. Namun, dorongan efisiensi dari pemerintah pusat, pada akhirnya makin menyulitkan sektor jasa pariwisata, terutama hotel untuk bangkit dan pulih.

"Kami sudah mengibarkan bendera putih. Posisi sudah di tepi jurang. Berat sekali kondisinya. Dan, sekarang dihadapkan dengan tambahan Raperda KTR yang menekan. Kami mohon perlindungan berupa keberpihakan regulasi," tegas Ida.

3. Peraturan harus bisa adil

Spanduk kawasan tanpa rokok di Banjarmasin.

Sebelumnya, saat pertemuan dengan Bupati Cirebon bersama elemen ekosistem pertembakauan, Whisnu Sentosa, DPK APINDO Kabupaten Cirebon meminta Pemerintah Kabupaten Cirebon untuk dapat meninjau ulang pasal-pasal pelarangan total yang berdampak pada keberlangsungan usaha dan tenaga kerja.

"Kami bukan anti dengan peraturan. Yang kami harapkan adalah peraturan yang adil, berimbang, tidak menyakiti pelaku usaha dan pekerja. Kami mohon pertimbangan Bapak Bupati atas Raperda KTR ini," tambah Whisnu.

Editorial Team