ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)
Muslih menuturkan, perkara itu bermula dari gugatan yang diajukan PT KAI atas lahan di Jalan Ir H Juanda (Dago). Lahan seluas 4.715 meter persegi itu diketahui milik PT KAI dengan akta jual beli nomor 34 tahun 1951 tanggal 13 November 1951 yang dibuat di hadapan notaris dan telah dibukukan dalam daftar buku tanah dengan hak guna bangunan nomor 231 yang awalnya tertulis atas nama Archibald Guido De Ceuninck Van Capelle yang dibalik nama kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Pada 15 November 2016 sampai dengan November 2018 PT Kereta Api Indonesia menyewakan tanah dan bangunan tersebut kepada Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Keluarga Berencana Provinsi Jawa Barat.
"Namun setelah sewa tersebut berakhir, pada tanggal 17 November 2018 tiba-tiba tanah dan bangunan tersebut telah dikuasai dan ditempati oleh terdakwa bersama keluarganya tanpa seizin dan sepengetahuan dari PT Kereta Api Indonesia (Persero) selaku pemilik dari tanah dan bangunan tersebut," tuturnya.
Menurutnya pihak PT KAI sudah melakukan langkah-langkah dengan mendatangi lokasi dan meminta terdakwa meninggalkan tempat tersebut. PT KAI sudah mengirimkan surat peringatan atau somasi kepada terdakwa untuk mengosongkan lahan. Hingga somasi ketiga, surat peringatan tersebut tak direspons oleh terdakwa.
Namun terdakwa tidak mau meninggalkan tempat tersebut dengan alasan memiliki hak atas lahan lantaran orang tuanya mendapatkan pelimpahan surat surat tanah tersebut pada tahun 1970 berdasarkan Surat Verponding Nomor 1473, Mectbrief atau Surat Ukur nomor 460, tanggal 29 September 1937.
Kasus ini kemudian masuk ke meja hijau. Proses persidangan berjalan hingga saat tuntutan jaksa menuntut Suhendar dengan hukuman 5 bulan penjara. Dalam sidang vonis, majelis hakim yang diketuai oleh Yuswardi dan anggota Mangapul Girsang dan Dalyursa memperingan hukuman menjadi 3 bulan.