Penurunan Daya Beli Warga Jabar Sudah Terasa Sejak Pertengahan 2024

Bandung, IDN Times - Daya beli masyarakat tahun ini diprediksi akan semakin tertekan. Bukan hanya adanya penurunan nominal, tapi jumlah konsumen pun makin turun dengan banyaknya kejadian seperti PHK massal hingga penundanaan pengangkatan ASN.
Pada bulan Februari, Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat mencatat provinsi ini mengalami deflasi sebesar 0,61 persen. Inflasi tahun ke tahun atau (year on year) sebesar -0,27 persen, dan secara tahun kalender (year to date) sebesar -1,29 persen. Penyebab perlambatan terutama lambatnya pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan. Dari sisi pengeluaran, terjadi perlambatan pada konsumsi rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB).
Di balik adanya deflasi dan penurunan daya beli awal tahun ini, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jawa Barat, Yudi Hartanto membernearkan adanya penurunan daya beli masyarakat.
"Kami mengamati sejak pertengahan tahun 2024 lalu pola belanja masyarakat semakin bergeser, di mana konsumen menjadi lebih selektif dalam berbelanja dan lebih mengutamakan kebutuhan pokok, dibandingkan barang kategori lainnya, terlihat dari semakin dominannya penjualan produk bahan pangan dalam kontribusi total penjualan ritel," ujar Yudi kepada IDN Times, Jumat (7/3/2025).
Selain itu, perilaku Konsumen dalam menghadapi festive season Ramadan dan Idul Fitri 2025 juga berubah. Awal Ramadan yang jatuh di awal bulan tidak menunjukan lonjakan jumlah transaksi yang signifikan, hanya sekitar lima persen, walaupun kenaikan tersebut adalah normal seperti siklus belanja bulanan.
Untuk festive season tahun ini, Aprindo Jabar memperkirakan puncak belanja masyarakat akan terjadi dalam rentang H-10 hingga H-8 sebelum Hari Raya Idul Fitri, setelah pegawai pemerintah maupun swasta menerima tunjangan hari raya (THR). Namun, pola konsumsi ini pun semakin rasional, di mana konsumen tidak lagi terlalu memikiran jenama tertentu (brandminded), terutama untuk barang seasonal lebaran seperti kue kaleng. Konsumen ini lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga.
1. Pemangkasan anggaran makin memicu

Faktor lain yang turut menekan penjualan ritel adalah pengurangan anggaran belanja pemerintah, yang berdampak pada turunnya permintaan dalam festive season. Misalnya, belanja paket Lebaran dari instansi pemerintah maupun perusahaan swasta mengalami penurunan signifikan.
Begitu juga dengan pembelian dari konsumen profesional yakni hotel, restoran, dan catering yang saat ini kehilangan pesanan dari pemerintah secara langsung berdampak kepada penjualan di toko ritel juga.
Di sisi lain, semakin banyak konsumen yang memanfaatkan e-commerce sebagai alternatif dalam memenuhi kebutuhan FMCG. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi toko ritel (konvensional/offline), yang perlu terus beradaptasi dengan perubahan pola belanja masyarakat di era digital ini.
Meskipun kondisi ini menantang, Aprindo Jawa Barat tetap optimis bahwa penjualan festive season Idul Fitri kali ini sektor ritel masih akan bertumbuh sekitar 15 persen dibandingkan penjualan awal tahun 2025.
2. Konsumsi masyarakat menengah tak menentu

Mengutip laporan perekonomian Jawa Barat per Februari 2025 yang dirilis Bank Indonesia, pada 2024 daya beli masyarakat tergerus akibat kondisi ketidakpastian perekonomian global. Masyarakat menengah bawah di Jawa Barat itu terdampak sehingga menimbulkan tendensi pergantian pola perilaku konsumsi menjadi perilaku menabung. Hal ini terkonfirmasi dari data Survei Konsumen yang menunjukkan proporsi tabungan masyarakat Jawa Barat yang lebih tinggi sepanjang tahun
2024.
Optimisme pertumbuhan positif perekonomian Jawa Barat masih ditopang oleh terjaganya aktivitas dan mobilisasi masyarakat yang masih terus meningkat. Hal ini salah satunya ditopang oleh beroperasinya Kereta Cepat Jakarta-Bandung sejak 16 Oktober 2023. Di tahun 2023 Whoosh melayani sebanyak 1,1 juta penumpang dan meningkat menjadi sebanyak 4,65 juta penumpang pada 2024.
"Ketidakpastian global yang mempengaruhi daya beli, masyarakat cenderung membatasi pengeluaran pada sektor ini," mengutip laporan tersebut.
Bank Indonesia pun memprediksi bahwa konsumen saat ini lebih fokus membelanjakan uang pada kebutuhan esensial. Konsumen mulai mengalihkan pengeluaran mereka dari barang-barang besar atau barang mewah menuju barang-barang yang lebih esensial atau kebutuhan sehari-hari sehingga menguntungkan perdagangan ritel, meskipun di sisi lain terdapat perlambatan pada pengeluaran di sektor lainnya.
Di sisi lain, pelemahan daya beli ini juga tercercim pada perlambatan kredit di triwulan IV 20204. Perlambatan ini terjadi pada hampir seluruh jenis pinjaman, termasuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Apartemen (KPA) serta Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), mencerminkan adanya penyesuaian belanja rumah tangga terhadap kondisi ekonomi yang berkembang. Satu-satunya pengecualian adalah
kredit pemilikan peralatan rumah tangga, yang masih mencatat pertumbuhan positif, menunjukkan adanya kebutuhan yang masih bertahan dalam kategori tersebut.
"Ada kehati-hatian dalam pengeluaran rumah tangga,baik karena ekspektasi terhadap kondisi ekonomi ke depan maupun potensi tekanan terhadap daya beli, yang akhirnya turut berdampak pada perlambatan
pertumbuhan kredit konsumsi," masih mengutip laporan BI Jabar.
Meski demikian, kondisi perekonomian di Jawa Barat diproyeksikan akan tumbuh seiring dengan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang terpantau mengalami peningkatan dari 139,5 menjadi 140,8 yang didukung oleh adanya momentum HBKN Ramadan dan Idulfitri 2025 yang diharapkan memberikan dampak pada peningkatan daya beli masyarakat di Jawa Barat.
3. Pemkot Bandung dorong masyarakat rajin beli barang

Sementara itu, Pemkot Bandung menggelar berbagai macam kegiatan agar masyarakat tetap mau mengeluarkan uangnya untuk berbelanja baik itu kebutuhan primer maupun sekunder. Untuk kebutuhan sehari-hari, Pemkot menyelenggarakan bazar sembako murah di berbagai kewilayahan sehingg masyarakat kecil tetap bisa membeli barang sesuai dengan kebutuhannya.
Di sisi lain, dorongan agar pelaku usaha kreatif tetap membuat acara diharap bisa mendorong perekonomian lokal terus tumbuh di tengah persoalan daya beli yang disebut masih tertekan. Menurutnya, Bandung ini bukan hanya kaya akan pelaku usaha kuliner, tapi juga fesyen. Dia yakin motor industri kreatif Bandung adalah fesyen yang diharap juga bisa mendongkrak perekonomian.
"Harapan saya kegiatan seperti pop up market itu bisa semakin menambah sektor ekonomi di kelas menengah lebih dari sekedar konsumsi makanan. Karena lewat pakaian ini kita bisa membangun industri lain seperti tekstil sampai industri desain," kata Wali Kota Bandung M Farhan.
Dia pun meminta berbagai komunitas yang ada di Kota Bandung ini lebih rajin menggelar kegiatan termasuk yang menjual kebutuhan masyarakat sehingga konsumen pun tidak sungkan untuk membelanjakan uangnya, yang bisa mendorong perekonomian secara keseluruhan.